Kuda Kosong

Bukti Kemampuan Diplomasi Bupati Cianjur
Kuda Kosong juga sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Provinsi Jawa Barat (Foto : Detik)

Halo, Gaes!

Diplomasi atau seni negosiasi emang jadi salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Apalagi kalo menyangkut kehidupan rakyat banyak. Kemampuan diplomasi yang baik bisa menjamin keamanan rakyat dan mencegah terjadinya pertumpahan darah. Seperti yang pernah terjadi di Kota Cianjur dan menjadi awal mula tradisi Kuda Kosong yang menjadi salah satu daya tarik Pariwisata Indonesia di Kota Santri ini.

Monumen kuda Kosong (Foto : medialiterasinasional)

Menurut sejarawan, peristiwa tersebut terjadi di masa Kolonial Belanda atau sekitar tahun 1707. Saat itu, Amangkurat 2 baru saja dilantik sebagai Sultan Mataram. Sang Sultan lalu memerintahkan seluruh pemimpin daerah yang ada di Sunda Besar (Pulau Jawa) untuk datang dan membawa upeti.

Ketika itu, Cianjur dipimpin oleh Bupati atau Dalem bernama Arya Wiratanu 2. Dikisahkan, awalnya salah satu adik sang Bupati tidak setuju jika Cianjur menyerahkan upeti dan menyarankan agar mereka melakukan perlawanan. Sementara adik yang lain merekomendasikan untuk menempuh jalan negosiasi karena Cianjur yang baru berdiri tidak akan sanggup melawan kekuatan besar Mataram.

Dengan berbagai pertimbangan, jalan diplomasi-lah yang diambil. Utusan Arya Wiratanu 2 pun datang ke Mataram dengan sepucuk surat yang menyatakan bahwa seluruh kekayaan yang ada di Cianjur adalah milik Mataram. Bersama surat tersebut, sang utusan juga membawa beberapa seserahan.

Tapi ada yang unik, nih, Gaes. Jika utusan dari daerah lain membawa berbagai hadiah besar, utusan dari Cianjur hanya membawa 3 butir gabah, 3 butir merica, dan 3 biji cabai, loh. Merica dan gabah menjadi simbol bahwa Cianjur baru saja berdiri sehingga belum memiliki persediaan pangan yang melimpah. Sedangkan biji cabai menjadi simbol bahwa Cianjur akan melawan jika diserang.

Sultan Mataram yang terkagum dengan gaya diplomasi yang dilakukan Bupati Cianjur pun menetapkan bahwa Cianjur bukanlah wilayah penaklukan Mataram, melainkan daerah yang menjadi saudara. Amangkurat 2 lalu mengirimkan beberapa hadiah balasan, berupa keris, benih pohon saparatu, dan kuda hitam.

Sama seperti seserahan dari Bupati Cianjur, hadiah balasan ini juga punya makna tersendiri, loh. Keris bertahta permata yang diberikan menjadi lambang persaudaraan. Sementara benih pohon saparatu menjadi simbol harapan agar Kota Cianjur bisa berumur panjang, sama seperti pohon tersebut. Fyi, benih pohon saparatus ini sudah tumbuh menjadi pohon besar dan masih bisa lo temuin di daerah Cianjur. Pohon berusia lebih dari 300 tahun ini, digadang-gadang sebagai satu-satunya yang ada di dunia.

Next, hadiah terakhir yaitu kuda balap berwarna hitam. Hadiah yang satu ini menjadi simbol sekaligus instruksi agar Cianjur melakukan pembangunan secepat mungkin seperti kuda balap di arena pacuan.

Dikisahkan, saat perjalanan dari Mataram menuju Cianjur, tidak ada pengawal atau utusan yang berani menaiki kuda tersebut karena merupakan hadiah khusus untuk Bupati Cianjur. Kuda ini pun dibawa dengan cara dituntun hingga sampai di hadapan Arya Wiratanu.

Karena banyak warga Cianjur yang penasaran dengan kuda pemberian sang sultan, maka kuda hitam tanpa penumpang ini pun dituntun keliling kota untuk diperlihatkan pada masyarakat. Arak-arakan Kuda Kosong juga dilakukan saat ada tamu yang datang sebagai kebanggaan bahwa Cianjur adalah saudara Mataram.

Meski saat ini keturunan kuda hitam tersebut sudah tidak ada, tradisi Kuda Kosong masih dilaksanakan di Cianjur, Gaes. Biasanya pawai ini diselenggarakan dalam menyambut hari jadi Kota Cianjur yang pelaksanaannya disatukan dengan peringatan HUT RI pada 17 Agustus.

Oh ya, Gaes! Pada tahun 2018, Kuda Kosong juga sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Provinsi Jawa Barat. Kalo penasaran dengan tradisi yang satu ini, sempatkan untuk berkunjung ke destinasi Pariwisata Indonesia di Cianjur. Selain tradisi Kuda Kosong, lo juga bisa melihat langsung pohon saparatu yang berusia ratusan tahun!

Pewarta:  Anita Basudewi Simamora
COPYRIGHT © PI 2023