Pesona Angklung Purba

Senggayong, Alat Musik Tradisional dari Kayong

Senggayong, Alat Musik Tradisional dari Kayong

Sejak zaman dulu, musik telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Di kala senang maupun sedih, musik bisa menemani. Musik juga kerap manjadi instrumen pengiring dalam berbagai upacara bahkan saat sedang menghabiskan waktu senggang, seperti Senggayong.

Senggayong berasal dari kata gayong yang dalam Bahasa penduduk lokal Sukadana berarti gayung atau penimba air kecil untuk mandi yang terbuat dari buluh. Senggayong merupakan alat musik pukul yang berasal dari daerah Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pada zaman dahulu, Senggayong dimainkan oleh masyarakat saat sedang menunggu buah durian jatuh dari pohonnya (nyandau durian). Alat musik ini menjadi salah satu hiburan untuk mengisi waktu luang. Permainannya dilakukan beramai-ramai, antara tiga hingga empat orang.

Pariwisata Indonesia

Senggayong bisa dikatakan sebagai angklung purba karena bentuknya yang sangat mirip dengan angklung dan juga menggunakan bahan dasar yang sama, yaitu bambu. Namun, bentuk, cara memainkan, hingga nada yang dihasilkan lebih sederhana dibandingkan angklung.

Senggayong terdiri dari dua buluh bambu yang memiliki bentuk serupa dan dimainkan dengan cara dipukul. Tangan kiri memegang buluh bambu yang menghasilkan nada rendah. Sedangkan tangan kanan memegang buluh yang menghasilkan nada tinggi. Bagian buluh bambu yang tipis berfungsi sebagai pemukul.

Untuk membuat Senggayong, diperlukan buluh bambu pilihan. Buluh yang terbaik yaitu buluh rebung manis, buluh muntik, dan buluh pering jawe karena memiliki ruas yang panjang dan tebal sehingga mudah untuk dibuat Senggayong. Selain itu juga harus dipilih buluh yang masih memiliki kelopak dan terkena sinar matahari. Pemilihan buluh menentukan kualitas suara dan nada yang dihasilkan.

Setelah batang bambu dipersiapkan, selanjutnya adalah memotong-motong buluh bambu berdasarkan ruasnya sebanyak enam bagian. Bagian yang telah dipotong lalu dibelah sebagian di atasnya dan mulai diraut, seperti angklung. Sepanjang meraut, pembuat Senggayong akan memukul-mukul parang ke Senggayong hingga didapatkan nada merdu yang diinginkan.

Ketika Senggayong pertama selesai, selanjutnya dibuat yang kedua. Untuk mendapatkan nada yang cocok di buluh kedua, maka buluh pertama digunakan sebagai pemukul. Selanjutnnya untuk mendapatkan nada yang sesuai di buluh ketiga, digunakan buluh kedua sebagai pemukul. Demikian seterusnya.

Umumnya Senggayong dibuat tiga pasang, yang dinamakan ibu, anak, dan kawan. Masing-masing Senggayong ini akan berperan sebagai bass, melodi, dan kendang yang dimainkan bersamaan sehingga menghasilkan nada-nada harmonis.

Dalam memainkan Senggayong, terdapat 12 jenis pukulan yang berbeda dan menghasilkan nada yang masing-masing. Masyarakat lokal menyebut pukulan-pukulan tersebut lagu Senggayong. Lagu Senggayong di antaranya Timang Buah, Tong Tek, Ujan Deras, Dngkakah, Anjing Nyalak, Mogak, dan Cali. Lagu-lagu ini dimainkan sesuai dengan situasi para petani. Misalnya, pukulan Mogak dimainkan saat menebas durian, pukulan Ujan deras dimainkan saat kembali dari gunung sambil membawa durian, sedangkan pukulan Tong Tek dimainkan saat sedang bersantai di bawah pohon durian.

Senggayong memerlukan perawatan khusus setelah dimainkan, senggayong-senggayong ini harus direndam di dalam air agar tidak kering dan bisa dimainkan kembali. Senggayong yang dibiarkan begitu saja akan kering dan rusak, sehingga tidak bisa kembali dimainkan.

Seiring perkembangan zaman, Senggayong pun mulai ditinggalkan. Namun, berkat perjuangan para seniman dan pemerhati alat musik ini, Senggayong pun ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada tahun 2019. Dengan penetapan tersebut, diharapkan Senggayong mendapatkan perhatian penuh untuk terus dijaga dan dilestarikan sebagai salah satu kekayaan bangsa Indonesia.(Nita)