Astakona berasal dari sastra Indonesia lama yang berarti segi banyak (Foto : infopublik)

Tumpeng Bertingkat-tingkat Asal Banjar

Nasi Astakona, Hidangan untuk Tamu Kehormatan

Nasi Astakona, Hidangan untuk Tamu Kehormatan

Halo, Gaes!

Tentunya lo udah enggak asing dengan nama nasi tumpeng, kan? Nasi berbentuk kerucut yang dilengkapi dengan berbagai lauk-pauk ini adalah salah satu makanan khas masyarakat Jawa. Kuliner ini kerap dihidangkan saat acara syukuran atau menyambut tamu kehormatan.

Lain Jawa, lain Kalimantan. Di destinasi Pariwisata Indonesia yang satu ini, tepatnya di Kalimantan Selatan, juga terdapat hidangan khusus untuk acara-acara tertentu. Namanya nasi astakona.

Astakona berasal dari sastra Indonesia lama yang berarti segi banyak. Penyajian hidangan yang satu ini emang harus menggunakan nampan banyak segi dengan jumlah tiga atau lima nampan. Jumlah ganjil ini dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam yang dianut oleh masyarakat Banjar, Gaes.

Nampan-nampan berbeda ukuran itu akan disusun bertingkat. Tingginya tingkatan nasi astakona dipengaruhi oleh keistimewaan acara dan tamu yang hadir. Semakin tinggi tingkatannya menandakan semakin spesial tamu tersebut. Biasanya, sih, nasi astakona dengan lima tingkatan disajikan saat kesultanan menyambut tamu kehormatan.

Fyi, nasi astakona sudah ada sejak masa Kesultanan Banjar. Hidangan ini disajikan saat kesultanan mengadakan acara syukuran atau penyambutan tamu. Dalam perkembangannya, nasi astakona juga dihidangkan dalam acara pernikahan yang menjadi lambang keakraban antara kedua mempelai dengan keluarga.

Nasi astakona sudah ada sejak masa Kesultanan Banjar (Foto : idntimes)

Hampir sama seperti tumpeng, nasi astakona juga dihidangkan bersama lauk-pauk lainnya. Penyajian ini punya makna filosofis tersendiri, loh, yaitu hubungan erat manusia dengan unsur tanah, air, dan udara.

Ada tiga komponen utama yang wajib tersaji dalam nasi astakona. Pertama adalah nasi, baik nasi kuning, nasi putih, atau nasi kebuli. Nasi yang berasal dari padi dianggap sebagai simbol bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah. Menu nasi ini diletakkan pada nampan paling besar yang ada di tingkatan paling bawah.

Buahan-buahan menjadi komponen berikutnya yang wajib ada di dalam nasi astokana. Buah-buahan yang menjuntai dari batangnya dianggap sebagai simbol bahan-bahan yang berasal dari udara. Beberapa jenis buah-buahan yang kerap disajikan dalam kuliner khas ini adalah nanas, belimbing, jambu air, mentimun, dan tomat.

Komponen terakhir adalah bahan-bahan yang melambangkan unsur air, seperti ikan dan udang galah. Fyi, udang galah (Macrobrachium rosenbergii) adalah salah satu udang istimewa di Banjarmasin yang wajib lo coba. Udang yang memiliki habitat di air tawar ini memiliki ukuran yang lebih besar dari jenis udang lainnya dan memiliki rasa yang lezat.

Selain ikan dan udang galah, ada juga lauk-pauk lain yang harus ada, seperti ayam lenggang kencana (ayam utuh dari kepala hingga ceker) dan sate babakong yang juga merupakan kuliner khas Kota Seribu Sungai. Sate yang berasal dari hati sapi ini ditusukkan ke tusuk sate yang ujungnya dibelah menjadi lima bagian. Lagi-lagi angka lima ini berhubungan dengan ajaran agama Islam, yaitu jumlah rukun Islam.

Penyajian nasi astakona juga kerap dilengkapi dengan penginangan atau tempat sirih yang berisi daun sirih, kapur, potongan buah pinang, gambir, dan tembakau. Ada juga manisan atau asinan yang berfungsi sebagai kudapan.

Selain penyusunan, proses penyendokan nasi astakona juga punya tata cara, loh. Penyendokan pertama biasanya dilakukan oleh tetuha (tokoh yang dituakan) wanita yang ditujukan untuk tamu kehormatan. Aturan ini sebagai simbol penghormatan kepada orang yang memiliki kelebihan usia, pengalaman, serta kewibawaan. Penyendokan oleh tetuha wanita juga dimaksudkan untuk mendapat berkat dari seorang ibu.

Oh ya, Gaes. Pada tahun 2019, nasi khas Banjar ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Kalimantan Selatan. Saat berkunjung ke destinasi Pariwisata Indonesia di Banjarmasin, jangan lupa mencicipi nasi astakona, ya Gaes ya.

Pewarta:  Anita Basudewi Simamora
COPYRIGHT © PI 2023