Menyambut Tahun Baru Hijriah, Keraton Yogyakarta melaksanakan tradisi Mubeng Beteng. Upacara ini merupakan salah satu dari sejumlah perayaan malam satu Suro yang masih dilaksanakan hingga saat ini.
Tradisi menyambut Tahun Baru Islam di Indonesia ini sudah berlangsung secara turun-temurun, lho. Bagaimana pelaksanaan dan apa maknanya?
Apa itu tradisi Mubeng Beteng?
Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, ‘mubeng’ berarti mengitari. Sementara itu, ‘beteng’ bermakna sama yakni benteng. Mubeng Beteng secara harfiah berarti mengitari benteng.
Namun, bukan sekadar mengelilingi, tradisi Mubeng Beteng merupakan tirakat lampah ratri sebagai bentuk munajat kepada Tuhan YME. Tradisi ini dilakukan dengan berjalan mengikuti lintasan tertentu, melansir Dinas Kebudayaan Jogja Kota.
Di Yogyakarta sendiri terdapat beberapa lintasan untuk lampah ratri. Pertama, dari Pojok Benteng Wetan Karaton sampai ke Pantai Parangkusumo, Bantul. Kedua, lintasan mengikuti rute lima masjid pathok nigari Keraton Yogyakarta.
Selain itu, bisa juga dengan melintasi rute jagan njaban peninggalan Keraton Kotagedhe. Nah, yang paling populer tentu saja lampah ratri mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.
Sejarah tradisi Mubeng Beteng
Mubeng Beteng dipercaya sebagai tradisi yang berkembang pada abad ke-6 sebelum Mataram-Hindu. Nama lainnya adalah tradisi Muser yang artinya juga mengelilingi suatu pusat, melansir Wisata Budayaku, Universitas Gadjah Mada.
Sumber sejarah lain mengatakan, tradisi ini merupakan peninggalan Jawa-Islam yang dimulai oleh Kerajaan Mataram (Kotagede). Pada masa itu, sedang dilakukan pembangunan benteng mengelilingi kerajaan yang selesai tepat pada 1 Suro 1580.
Setelah pembangunan usai, prajurit rutin mengelilingi benteng untuk menjaganya dari ancaman musuh. Pada kemudian hari, tradisi ini dilaksanakan oleh abdi dalem. Para abdi dalem akan mengitari benteng dalam hening, sembari membaca doa agar diberi keselamatan.
Pelaksanaan tradisi Mubeng Beteng
Hingga saat ini, tradisi Mubeng Beteng masih rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Gak boleh sembarangan, ada urutan dan tata cara khusus yang harus dipatuhi.
Sebelum mulai lampah ratri atau yang kini juga dilaksanakan dengan nama lampah budaya, akan dibacakan tembang Jawa dulu. Tetembangan atau lagu yang dinyanyikan umumnya merupakan bagian dari tembang macapat Dhandhang Gula.
Alasannya, tembang tersebut dinilai memiliki karakter yang luwes, Tembang ini juga digambarkan sebagai kisah anak muda yang mengalami hal indah. Harapannya, tahun baru akan menjadi lebih baik dan penuh kebahagiaan, melansir sumber yang sama.
Setelah pembacaan macapat, lonceng pun dibunyikan sebanyak 12 kali pada pukul 00.00. Selanjutnya, prosesi mengitari benteng dilaksanakan berlawanan dengan arah jarum jam. Urutannya, dari barat ke selatan, ke timur, ke utara, baru kemudian kembali ke tempat mula.
Pantangan tradisi Mubeng Beteng
Dalam pelaksanaan tradisi Mubeng Beteng, terdapat satu pantangan yang harus ditaati peserta. Yap, kamu yang mengikuti upacara ini gak boleh bersuara apalagi ngobrol dengan orang lain.
Upacara ini juga dikenal sebagai tapa bisu atau puasa bicara. Tidak hanya untuk menghormati jalannya prosesi, pada momen ini peserta juga diajak lebih fokus introspeksi diri atas perbuatan yang dilakukan setahun lalu. Dengan demikian, peserta dapat mengingatkan diri sendiri untuk lebih baik pada tahun berikutnya.
Tradisi Mubeng Beteng kini bukan hanya dilaksanakan oleh abdi dalem, lho. Masyarakat dari berbagai penjuru daerah dapat mengikutinya. Apakah kamu tertarik?
Oleh : Laili Zain Damaika
Leave a Reply