Halo, Gaes! Setelah puas menikmati keindahan destinasi Pariwisata Indonesia di Papua Selatan yang masih alami, jangan lupa melengkapi liburan lo dengan membeli cinderamata khas Bumi Cenderawasih. Nah! Salah satu cinderamata yang gue rekomendasiin adalah Ukiran Asmat.
Seperti namanya, cinderamata yang satu ini emang merupakan hasil kerajinan tangan berupa seni ukir yang berasal dari Suku Asmat. Kerajinan yang di tahun 2013 telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia ini emang cukup terkenal. Eits! Bukan hanya di kalangan masyarakat Papua, tapi juga Indonesia dan dunia. Wah! Bikin bangga banget, kan?
Ukiran Suku Asmat bukan sekedar ukiran biasa, ya Gaes ya. Ukiran ini sangat rapi dan punya detail-detail yang rumit. Makanya, kerajinan tangan yang satu ini banyak diburu oleh para penggemar seni. Bahkan Pablo Picasso, seniman terkenal Eropa, disebut-sebut mengagumi Ukiran Asmat ini, loh.
Masyarakat Suku Asmat percaya bahwa pengetahuan dan kemampuan mengukir ini diturunkan oleh nenek moyang mereka yang bernama Fumiripitsy, Gaes. Menurut Suku Asmat, Fumiripitsy adalah seorang ahli ukir yang sudah membuat tifa yang indah sekali yang diberi nama Eme. Selain itu, Fumiripitsy juga membuat patung-patung yang diberi nama Mbis.
Konon saat Eme ditabuh, Mbis akan menjelma menjadi manusia dan menari mengikuti iringan musik. Maka, Fumiripitsy pun memutuskan Mbis untuk menjadi anak-anaknya. Kemampuan seni ukir dari Fumiripitsy ini pun diwariskan secara turun temurun. Seperti menari dan menganyam, bagi Suku Asmat mengukir adalah bagian dari kehidupan, Gaes.


(Foto : Detik.com)
Biasanya, kayu besi adalah jenis kayu yang digunakan oleh Suku Asmat untuk membuat ukiran. Kayu besi atau ulin (Eusideroxylon Zwageri Teijsm & Binn) merupakan jenis pohon yang menghasilkan kayu keras dengan berkualitas tinggi. Pohon yang bisa mencapai tinggi 50 meter dan diameter 120 cm ini tahan dari perubahan kelembapan, suhu, air laut, hingga serangan rayap dan serangga penggerek batang. Selain memiliki karakteristik sangat keras dan awet, pohon ini juga bisa hidup hingga ratusan tahun, loh.
Pada masa lalu, Suku Asmat menggunakan tulang burung kasuari sebagai alat untuk memahat. Tapi pada tahun 1907, dalam ekspedisinya, Lorentz dan timnya melakukan pertukaran barang dengan Suku Asmat. Mereka menukar pisau besi, kapak besi, dan kaleng makanan dengan Ukiran Asmat.
Bagi Suku Asmat saat itu, benda-benda logam tersebut merupakan benda baru yang langsung mereka gemari. Soalnya, logam-logam tersebut menjadikan pekerjaan memahat mereka lebih mudah dibanding menggunakan tulang kasuari.
Ukiran Asmat bisa dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu patung besar, patung kecil, dan ukiran alat-alat keperluan, seperti tifa, dayung, tombak, perahu, perisai, busur, dan sebagainya. Motif-motif ukiran ini berhubungan erat dengan mitos, legenda, dan kepercayaan Suku Asmat, Gaes.
Ada beberapa motif yang bisa ditemukan dalam Ukiran Asmat, misalnya motif yang berhubungan dengan alam, seperti kelelawar, burung cenderawasih, dan ikan. Ada juga motif yang berhubungan dengan aktifitas, seperti berburu, berperang, mencari ikan, atau gambar yang merefleksikan kehidupan leluhur.
Suku Asmat percaya bahwa ukiran adalah penghubung antara dunia manusia dan dunia arwah. Umumnya, ukiran ini digunakan untuk ritual dan penghormatan terhadap nenek moyang. Suku Asmat membuat patung yang diberi nama sesuai dengan nama orang yang sudah meninggal untuk mengenang atau mengingat mereka. Jika si nenek moyang meninggal karena terbunuh, maka patung tersebut menjadi pengingat untuk membalaskan dendam.
Eits! Tapi, ukiran-ukiran ini juga ada yang diperjualbelikan, loh. So, lo bisa menjadikannya cinderamata saat berkunjung ke destinasi Pariwisata Indonesia di Papua Selatan. Jangan sampai diskip, ya Gaes ya.
Pewarta: Anita Basudewi Simamora
COPYRIGHT © PI 2023
Leave a Reply