Awalnya, Sate Lilit adalah hidangan khas dari daerah Kabupaten Klungkung, Bali (Foto : goodnewsfromindonesia)

Sate Lilit

Kuliner Khas Bali yang hanya Dibuat Kaum Pria

Kuliner Khas Bali yang hanya Dibuat Kaum Pria

Halo, Gaes!

Sate! Siapa yang belum mengenal hidangan yang satu ini? Bukan cuma di Indonesia. Sate juga terkenal di negara tetangga hingga Afrika, loh. Bahkan sate asal Indonesia pernah menduduki peringkat ke-14 dalam survei makanan terenak versi CNN.

Banyak berbagai versi tentang asal usul dan sejarah sate. Ada yang mengatakan bahwa sate adalah kuliner yang terinspirasi dari kebab, makanan khas Turki dan Arab, berupa daging isian yang diolah dengan cara dipanggang. Ada juga yang mengatakan bahwa sate adalah makanan asli Nusantara yang pertama kali dibuat oleh Satah, salah satu murid Sunan Gresik, pada abad ke-15. Nama Satah ini pulalah yang diyakini merupakan asal muasal nama sate.

Meski banyak versi tentang sejarah sate, yang pasti Indonesia memiliki ratusan jenis sate yang bisa memanjakan lidah para pecinta kuliner. Salah satunya adalah Sate Lilit dari destinasi Pariwisata Indonesia di Pulau Bali.

Awalnya, Sate Lilit adalah hidangan khas dari daerah Kabupaten Klungkung, Bali. Tapi karena kelezatannya, sate ini semakin viral dan menyebar hingga ke seluruh daerah yang ada di Pulau Dewata. Kuliner ini bahkan menjadi incaran para wisatawan lokal maupun mancanegara yang datang.

Bagi masyarakat Bali, Sate Lilit menjadi simbol kejantanan seorang pria, loh. Karena kuliner ini hanya boleh dibuat oleh kaum pria, mulai dari pengolahan adonan hingga proses pembakaran. Hingga berkembang istilah bahwa pria yang tidak bisa membuat Sate LIlit, akan dipertanyakan kejantanannya.

Bagi masyarakat Bali, Sate Lilit menjadi simbol kejantanan seorang pria, loh. (Foto : pikiran-rakyat)

Di masa lalu, Sate Lilit hanya disajikan dalam upacara keagamaan. Kuliner ini menjadi hidangan yang wajib ada sebagai persembahan dan penghormatan kepada para dewa. Dalam upacara keagamaan ini, biasanya disajikan puluhan hingga ratusan sate lilit. Karena pengolahannya melibatkan banyak kaum pria, kuliner yang satu ini juga menjadi lambang persatuan masyarakat Bali.

Eits! Tapi lo enggak perlu menunggu upacara keagamaan untuk menikmati sate lezat ini. Karena seiring perkembangan zaman, Sate Lilit pun mulai banyak ditemukan di warung makan hingga restoran.

Tidak seperti sate pada umumnya, Sate Lilit punya keunikan tersendiri, Gaes. Sate ini bukan terdiri dari potongan daging berukuran kecil, melainkan daging cincang. Daging cincang ini lalu dicampur dengan berbagai rempah mulai dari bawang merah, bawang putih, kunyit, ketumbar, merica, jeruk nipis, cabe keriting, kencur, kemiri, santan, serta parutan kelapa.

Dengan berbagai bumbu dan rempah yang dicampurkan dalam adonan, Sate Lilit pun menghasilkan cita rasa yang gurih, manis, dan sedikit pedas. Makanya, sate ini bisa langsung disantap tanpa menggunakan bumbu pendamping seperti sambal kecap atau sambal kacang, Gaes. Praktis banget, kan? Tapi buat lo si pecinta pedas, penyajian sate ini juga bisa ditambahkan sambal matah.

Nah! Karena memiliki tekstur yang halus, campuran daging pada Sate Lilit tidak ditusuk, melainkan dibelit atau digulung pada pada batang yang mempunyai bentuk pipih dan lebar. Teknik membelit inilah yang menjadi asal penamaan Sate Lilit. Biasanya, batang yang digunakan adalah batang bambu. Tapi ada juga yang menggunakan batang serai untuk mendapatkan aroma yang lebih khas lagi.

Oh ya, Gaes, alih-alih daging sapi, biasanya daging yang digunakan untuk Sate Lilit adalah daging ayam, ikan, babi, atau kura-kura. Hal tersebut dikarenakan sapi merupakan hewan yang disucikan oleh Umat Hindu Bali. Meski demikian, untuk memenuhi permintaan pelanggan beberapa restoran di luar Pulau Bali menyediakan Sate Lilit yang berasal dari daging sapi.

Fyi, pada tahun 2022, Sate Lilit sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Provinsi Bali. Jika berkunjung ke destinasi Pariwisata Indonesia di Pulau Dewata, jangan lupa mencicipi hidangan khas Bali yang satu ini, ya Gaes ya

Pewarta:  Anita Basudewi Simamora
COPYRIGHT © PI 2023