Pariwisata Indonesia,Pariwisata di Indonesia,Menteri Pariwisata dan ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno, Solo Basahan, Surjan, Jawi Jangkep, Presiden RI Joko Widodo, Berita Jokowi, Jusuf Kalla, Makna Filosofi Jawi Jangkep, Makna Filosofi Solo Basahan, Makna Filosofi Surjan, 3 Pakaian Tradisional Jawa Tengah, Situs Pariwisata Indonesia,Media PVK Grup, Trippers, Berita Pariwisata Hari Ini, Perkembangan Pariwisata di Tanah Air Berita Juli 2022, Pariwisata Indonesia 2022
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno saat mengenakan salah satu pakaian tradisional khas Jawa Tengah, yakni Surjan, dan penggunaan pakaian adat nusantara di lingkungan kementerian yang berada di Gedung Sapta Pesona, Jl. Medan Merdeka Barat No.17-19, Jakarta Pusat ini, disebutnya dilakukan setiap hari Selasa. (Foto: Media PI/Dok. Tangkapan Layar Instagram @sandiuno)

3 Pakaian Adat Jawa Tengah, No Buncit Ada Kisah di Balik Jokowi-JK Bertukar Busana! Yuk Pahami Nilai Filosofinya

PariwisataIndonesia.id – Jawa Tengah memiliki beragam jenis pakaian adat yang menjadi bagian dari warisan budaya Bangsa Indonesia, dan baju adat tersebut sudah pasti memiliki corak budaya penuh makna.

Untuk itu, artikel kali ini akan menyoroti 3 pakaian adat Jawa Tengah, yang patut dipahami oleh kita semua sebagai kesadaran berbangsa dan bernegara. Sebab, keberagaman atau kebhinekaan bagi negara Indonesia adalah anugerah dari Tuhan. Tak heran bila akhirnya memiliki ciri khas dan kharakteristik tersendiri.

Berikut ulasannya, yang dirangkum PariwisataIndonesia.id dari berbagai sumber.

1. Solo Basahan

Menilik asalnya, pakaian adat Jawa Tengah ini merupakan warisan dari salah satu kebudayaan di Mataram, dan baju tradisiona nusantara ini juga dikenal dengan nama “dodot”.

Pada zaman dahulu pakaian adat ini hanya boleh dikenakan di lingkungan kerabat Keraton, tentunya memiliki makna filosofi yang dalam.

Penampilan baju Solo Basahan sangat mencolok karena kedua mempelainya tidak memakai atasan untuk menutup tubuh bagian atas. Riasan yang digunakan ketika memakai Basahan dinamakan Paes Ageng Kanigaran.

Selain prianya tidak menggunakan busana atasan alias bertelanjang dada, pada bagian dadanya juga terdapat semacam kalung melambangkan kemewahan. Untuk bawahannya, prianya akan menggunakan kain dodot hingga menutupi pusar.

Sebagai penutup kepalanya, pengantin pria mengenakan kuluk yang memiliki beberapa macam warna. Tidak lupa para pria membawa senjata berupa keris untuk menunjukkan kekuatan.

Sementara itu, para wanita membiarkan bahu dan dada bagian atas terbuka. Agar tetap sopan, para wanita menggunakan kemben panjang dan lebar untuk menutupi tubuh bagian atas lainnya. Sementara bawahannya, para wanita juga menggunakan Dodot.

Berikutnya, rambut ditata membentuk konde dan dihiasi dengan bunga-bunga di atasnya. Begitu pula di lehernya, menjuntai kalung yang indah. Pada pria maupun wanitanya, di kedua pangkal lengannya juga terdapat hiasan.

Baju Solo Basahan ini selain mengandung simbol berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tercermin di setiap elemen tata rias hingga busana yang digunakan, juga menyematkan harapan kepada mempelai menjadi keluarga yang harmonis, sejahtera, bahagia, dan dapat berjalan selaras dengan alam.

2. Surjan

Surjan merupakan pakaian adat Jawa Tengah yang dulunya diperuntukkan sebagai seragam bagi aparat kerajaan, prajurit, hingga rakyat biasa, yang tentunya sarat akan nilai filosofis kehidupan dengan identitas yang melekat dikenakan kaum laki-laki Jawa.

Konon, pakaian tradisional nusantara berkerah tegak, berlengan panjang, yang terbuat dari bahan lurik-lurik coklat dengan di bagian depannya terdapat saku. Kemudian dikombinasikan lagi dengan kain jarit serta penutup kepala berupa blangkon yang di bagian belakangnya terdapat tonjolan (atau mondolan). Lalu, pada bagian bawah kain bermotif batik itu dililitkan di pinggang dan panjangnya hingga mata kaki, adalah berkat rancangan Sunan Kalijaga.

Hal tersebut, tak lepas dari upayanya dalam mengembangkan ajaran Islam, khususnya rukun Islam dan rukun iman. Tatkala memperhatikan dua ikatan di bagian belakang dengan seksama, maka itu pun melambangkan dua kalimat syahadat yang diikat dengan kuat. Maknanya adalah seseorang yang memakai blangkon sejatinya memegang teguh pada ikatan yang kokoh, yakni ajaran Islam.

Dalam perkembangannya, surjan memiliki berbagai motif selain lurik serta berbagai corak warna yang cukup bervariasi dan sesuai selera. Salah satu kain yang terkenal dipakai untuk surjan Ontrokusuma, malah terbuat dari kain sutera bermotif hiasan beraneka macam bunga, seperti yang banyak dikenakan oleh kaum bangsawan.

Pakaian adat ini, kini sering dikenakan saat pelaksanaan upacara-upacara adat, meskipun begitu tak sedikit pula yang mengenakan surjan setiap hari. Dalam lingkungan keraton, ada kaidah berupa ‘ukuran garis’ yang terdapat pada surjan lurik sebagai lambang jabatan seseorang. Prinsipnya, makin besar luriknya maka semakin tinggi pula jabatan pemakainya. Begitu pula sebaliknya, makin kecil luriknya maka semakin rendah jabatannya.

3. Jawi Jangkep

Pakaian adat Jawa Tengah selanjutnya, yaitu Jawi Jangkep, dan sering digunakan oleh kaum pria, yang didominasi warna hitam pada bagian atasnya. Pada zaman dahulu, kerap dikenakan oleh abdi dalem keraton hingga pernikahan adat Jawa Tengah.

Namun seiring waktu, Jawi Jangkep banyak digunakan dalam acara-acara untuk menunjukkan identitas Jawa Tengah. Mencermati bentuk pakaian adat ini terdiri dari atasan dengan motif bunga di bagian tengah dan beskap. Beskapnya itu sendiri berkerah agak tinggi yang tidak memiliki lipatan, di mana pada bagian dalam beskap, umumnya berwarna gelap, seperti hitam, hijau tua, biru tua, merah bata, dan lainnya.

Sementara di bagian bawahnya, berupa kain jarik dengan cara dililitkan ke pinggang. Terkadang, diikuti pula tambahan lainnya yang menyertai seperti aksesoris berbentuk blankon sebagai penutup kepala. Kemudian keris disisipkan pada bagian belakang, dan untuk alas kakinya memakai sendal selop atau sendal bertutup.

Terkait baju adat satu ini, ada hal unik dan momen itu tak pelak lagi banyak menyedot perhatian publik, yang terlihat saat sidang tahunan MPR/DPR/DPD RI di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, pada Rabu (16/8/2017). Dalam rapat tersebut, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) selaku Wakil Presiden saat itu, datang dengan pakaian adat yang tertukar.

Jokowi yang berasal dari Jawa Tengah tampil mengenakan baju adat khas Bugis yang dikenal dengan nama “Baju Bodo”. Sementara JK yang berasal dari Makassar dan merupakan keturunan suku Bugis itu justru menggunakan “Jawi Jangkep.

Teten Masduki yang waktu itu menjabat Kepala Staf Kepresidenan mengatakan ‘tertukarnya’ pakaian adat yang dikenakan Jokowi dan JK, diakuinya telah ditentukan sebelumnya. Perihal tersebut direncanakan sebagai pengingat atas upaya merebut kemerdekaan telah dinikmati selama 72 tahun.

Kala itu, kata Teten menambahkan, semua orang berlatar belakang suku, ras, dan agama bersatu dan menyatukan kekuatan demi Indonesia.

“Artinya sekarang sudah mencair. Orang Jawa tidak harus pakai baju Jawa, orang Makassar pakai baju Makassar. Semua sebagai bangsa Indonesia,” pungkasnya.

Wujud kebhinekaan yang terkandung pada pakaian adat yang dikenakan JK, penggunaan blankon pada “Jawi Jangkep”, filosofinya berarti “seorang laki-laki mesti memiliki pikiran teguh”.

Dalam filosofi ajaran budaya Jawa, saat mengenakan beskap yang terdapat kancing di sisi kiri dan kanan itu, dikenal dengan istilah “Piwulang Sinandhi”, melambangkan semua tindakan yang diambil harus diperhitungkan secara cermat dan senantiasa dilaksanakan penuh dengan kehati-hatian.

Adapun untuk kain jarik yang dilipat secara vertikal bertujuan agar jarik tidak terlepas dari wirunya. Maknanya adalah jangan sampai melakukan sesuatu dengan keliru. Selain digunakan sebagai lambang perkasaan, penggunaan keris di bagian belakang pinggang juga mengandung makna bahwa harus mampu menolak semua godaan-godaan setan. (Rizky/eh)

Editor:  Soetardjo