PariwisataIndonesia.id – Sobat Pariwisata, teater merupakan salah satu jenis hiburan di masa lalu. Beberapa jenis teater masih terus dipertahankan hingga kini.
Salah satunya adalah Dulmuluk. Nah, sobat. Dulmuluk merupakan teater tradisional Sumatera Selatan yang menceritakan tentang kisah Abdul Muluk dan pantun-pantun jenakanya.
Teater yang lahir di kota Palembang ini awalnya merupakan pembacaan syair oleh Syech Ahmad Bakar atau Wan Bakar.
Wan Bakar adalah pedagang keturunan Arab yang datang ke Palembang pada abad ke-19. Ia sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah termasuk Melayu dan Singapura.
Pada tahun 1854, Wan Bakar membacakan syair tentang kisah petualangan Abdul Muluk Jauhari yang berasal dari Kitab Kejayaan Kerajaan Melayu yang selesai di tulis 2 Juli 1845.
Agar pertunjukan lebih menarik, saat pembacaan Syair Abdul Muluk, Wan Bakar mengajak beberapa orang untuk memperagakan isi syair dan diiringi dengan lantunan musik gambus dan terbangan.
Ternyata, masyarakat yang menyaksikan sangat terhibur dan menyukainya. Kemudian, Teater Dulmuluk pun menjadi lebih sering ditampilkan.
Syair dalam Teater Dulmuluk diambil dari Kitab Kerajaan Melayu. Terdapat dua versi tentang penulis kitab ini.
Versi pertama, adalah versi DR. Philipus Pieter Voorda Van Eysinga (seorang hakim di Batavia) yang menyebutkan bahwa penulis kitab ini adalah Raja Ali Haji bin Raja Achmad dari Pulau Penyengat, Riau.
Sedangkan versi kedua adalah versi Von de Wall yang menyebutkan bahwa penulisnya adalah Saleha, sepupu Raja Haji Ali.
Teater Dulmuluk memiliki beberapa keunikan. Pertama, di awal dan di akhir Teater Dulmuluk dipertunjukan tarian yang disebut Beremas.
Kedua, kalimat-kalimat yang digunakan para pemainnya terdiri dari pantun dan syair.
Ketiga, di beberapa adegan sering diselipkan nyanyian dan tarian yang mengungkapkan isi hati, seperti sedih, senang, atau marah.
Keempat, selama pertunjukan akan ditampilkan kuda Dulmuluk sebagai salah satu ciri khas.
Kelima, dialog yang digunakan oleh para pemain kerap menggunakan syair dan pantun.
Keenam, Dulmuluk hanya menceritakan dua jenis syair, yaitu Syair Abdul Muluk dan Syair Zubaidah Siti.
Terakhir, seluruh tokoh dalam Dulmuluk diperankan oleh laki-laki, termasuk tokoh perempuan.
Meskipun kental dengan cerita kehidupan rakyat, teater ini mengandung banyak nasihat. Pesan-pesan tersebut disampaikan melalui hadam, yaitu sejenis syiar islam.
Sobat Pariwisata, dulu itu, Dulmuluk cerminan kesenian masyarakat menengah ke bawah karena latar belakang para pemainnya. Pertunjukan rakyat ini dilakukan secara spontan dan jenaka.
Seiring perkembangannya, Dulmuluk dihadirkan sebagai hiburan pada acara pernikahan atau sejenisnya. Belakangan, masyarakat lebih memilih jenis hiburan lain dan Dulmuluk pun semakin terancam keberadaannya.
Dalam upaya melestarikan dan mempromosikan kesenian Sumatera Selatan, Dulmuluk mulai dimainkan oleh orang-orang dari kalangan akademisi.
Pementasan Dulmuluk semakin kekinian karena dimainkan oleh para mahasiswa, membuat kesenian ini memiliki pamor yang tinggi. Alhasil, Dulmuluk tampil di perhelatan internasional, pemerintahan hingga ke ulang tahun universitas.
Upaya kaum pembaharu yang berusaha merevitalisasi terlihat dari properti pementasan kental dengan pesan identitas yang modernitas mewarnai pertunjukan. Termasuk dialektika maupun ketokohan serta skenario pertunjukan Dulmuluk bisa dikatakan terstruktur.
Akan tetapi, ini ditanggapi oleh sebagian besar seniman Dulmuluk dengan mengatakan pagelaran kaum pembaharu tersebut bukan Dulmuluk, melainkan bangsawan atau teater biasa bukan lagi sebagai pertunjukan rakyat.
Oh ya, Sobat Pariwisata. Pemerintah Sumatera Selatan terus berupaya agar kesenian ini tetap lestari salah satunya dengan memperkenalkan Dulmuluk di sekolah-sekolah.
Sobat, pada tahun 2013, Dulmuluk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Provinsi Sumatera Selatan.
Leave a Reply