Hanacaraka, / thejakartapost.com-Ilustrasi

Ha Na Ca Ra Ka

Aksara Jawa yang Gesit Menggeliat

Aksara Jawa yang Gesit Menggeliat

Saat jalan-jalan ke daerah Malioboro atau daerah Jogjakarta, Sobat Pariwisata bisa melihat papan nama jalan yang dilengkapi dengan aksara Jawa di bagian bawahnya. Aksara itu sering juga disebut dengan Hanacaraka. Bagaimana asal-usul dan perkembangannya? Simak ulasan berikut, ya.

Indonesia memiliki setidaknya 12 jenis aksara kuno, yaitu aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis, Rejang, ALmpung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci/Rencong. Hanacaraka sendiri merujuk pada aksara Jawa modern yang biasanya digunakan di Pulau Jawa dan Bali. Meskipun ada beberapa perbedaan huruf di kedua wilayah ini.

Penamaan Hanacaraka diambil dari lima huruf pertama yang menyusunnya yaitu Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Aksara ini sendiri sebenarnya terdiri dari 20 huruf dasar yang membentuk pangram yang sering dikaitkan dengan legenda Ajisaka.

Konon, Ajisaka adalah pemuda sakti yang memiliki dua abdi setia bernama Dora dan Sembada. Kedua pengawal ini memiliki kekuatan yang seimbang. Di saat bersamaan, tersiar kabar bahwa Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh raja kejam bernama Prabu Dewata Cengkar. Dia memiliki kebiasaan memakan daging manusia dan hal itu membuat rakyatnya ketakutan.

Mendengar hal tersebut Ajisaka bersama Dora pun mengembara ke Kerajaan Medhangkamulan untuk menghentikan kebiasaan buruk sang raja. Sementara Sembada diperintah untuk tetap berada di Pulau Majethi untuk menjaga keris pusaka milik Ajisaka agar tidak jatuh ke tangan orang lain.

Setibanya di Kerajaan Medhangkamulan, Ajisaka meminta sebidang tanah seukuran surbannya pada Prabu Dewata Cengkar. Sebidang tanah tersebut merupakan syarat agar Ajisaka bersedia menjadi makanan sang raja.

Prabu Dewata Cengkar pun mengukur tanah menggunakan\surban tersebut. Namun, kain surban tersebut terus meluas hingga Prabu Dewata Cengkar terus mundur hingga terjatuh ke jurang Pantai Selatan dan meninggal.

Sepeninggal Prabu Dewata Cengkar, Ajisaka pun diangkat sebagai raja di Kerajaan Medhangkamulan. Dia tinggal di sana bersama Dora. Pada satu ketika, ia teringat pada keris pusakanya. Ajisaka pun meminta Dora untuk mengambil keris tersebut.

Dora yang mendapat perintah mengambil keris dan Sembada yang menerima perintah menjaga keris pun bertarung. Tidak ada yang menang dalam pertarungan tersebut karena keduanya meninggal

Mendengar kedua abdinya tewas, Ajisaka pun melantunkan pantun yang konon menjadi asal-usul penyusunan huruf Hanacaraka. Pantun tersebut berbunyi:

Ha Na Ca Ra Ka: Ada sebuah kisah

Da Ta Sa Wa La: Terjadi sebuah pertarungan

Pa Dha Ja Ya Nya: Mereka sama-sama sakti

Ma Ga Ba Tha Nga: Dan akhirnya semuanya mati

Terlepas dari legenda Ajisaka, huruf Hanacaraka diyakini berasal dari aksara Brahmi di India. Aksara ini lalu berkembang menjadi aksara Pallawa dari Kerajaan Pallawa di India bagian selatan yang digunakan pada abad ke-4 Masehi.

Aksara Pallawa yang tersebar hingga Asia Selatan dan Asia Tenggara pada abad ke-6 dan ke-8. Aksara ini lalu mengalami perkembangan menjadi aksara Kawi yang kemudian menjadi dasar aksara-aksara di beberapa daerah Nusantara. Aksara Kawi digunakan sepanjang abad ke-8 hingg ke-15.

Pada abad 15, ketika pengaruh Islam masuk ke Indonesia, aksara Kawi mulai mengalami perubahan menjadi aksara Jawa Modern atau sering disebut Hanacaraka. Selama abad ke-15 hingga awal abad ke-20, aksara ini kerap digunakan oleh masyarakat di sekitar Pulau Jawa.

Aksara Jawa modern mulai berkembang pesat saat ditemukannya kertas pada abad ke-19. Bahkan dengan adanya teknologi pada tahun 1825, aksara Jawa pun mulai mudah ditemukan dalam surat-surat, buku, koran, majalah, pamflet, iklan, dan uang kertas.

Seiring dengan bertambahnya permintaan terhadap bacaan di awal abad ke-20, aksara Jawa modern pun mulai berganti dengan aksara latin karena alasan ekonomis. Penulisan dengan huruf Hanacaraka dianggap tidak ringkas sehingga lebih memakan banyak kertas, tinta, waktu, dan biaya.

Pada masa pemerintahan Jepang, huruf Hanacaraka mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Pemerintah Nippon melarang penggunaan huruf ini dalam ranah publik.

Mulai saat itu, masyarakat pun mulai meninggalkannya bahkan setelah masa kemerdekaan. Lama-kelamaan, banyak masyarakat mulai melupakan huruf Hanacaraka tersebut.

Di tahun zaman sekarang, huruf Hanacaraka kembali menggeliat. Beberapa masyarakat, terutama anak muda mulai banyak yang tertarik menggunakannya. Huruf ini dianggap merupakan bahasa yang halus dan sopan untuk digunakan saat berbicara pada yang lebih sepuh.

Tidak terhenti sampai di situ, pemerintah Jogjakarta dan Keraton Ngayogyakarta juga mulai mengenalkan huruf ini lebih luas. Selain menjadi salah satu mata pelajaran muatan lokal di berbagai sekolah di Jogjakarta, huruf Hanacaraka juga kerap digunakan berdampingan untuk penulisan papan nama tempat umum.

Bahkan, beberapa surat kabar dan majalah lokal, mulai memiliki kolom khusus yang berisi huruf Hanacaraka ini.

Sosialisasi Hanacaraka juga dilakukan melalui teknologi dan informasi. Sobat Pariwisata bisa menemukan banyak aplikasi Hanacaraka di playstore.

Dinas Kebudayaan DI Jogjakarta melalui Pengelola Nama Domain Indonesia juga telah mendaftarkan huruf Hanacaraka atau Aksara Jawa ke Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) pada Februari 2020.

Jika disetujui, nantinya huruf Hanacaraka menjadi Internazionalize Domain Name (IDN) yang bisa terenskripsi di ponsel.

Semoga aksara-aksara Nusantara yang lain pun bisa berkembang segesit aksara Jawa modern ini. (Nita/Eh)