Kisah Gunung Semeru Sebagai Paku Tanah Jawa

Tidak ada yang menduga, Gunung Semeru yang berada di Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang, Jawa Timur, erupsi pada Sabtu (4/12/2021) sore, pukul 14.50 WIB. Walau memang gunung api aktif di Indonesia ini telah mengalami beberapa kali erupsi.

BNPB mencatat Semeru punya sejarah erupsi sejak 1818, meski saat itu belum banyak informasi yang terdokumentasikan. Kemudian pada 1941-1942 terekam aktivitas vulkanik dengan durasi panjang.

Selanjutnya beberapa aktivitas vulkanik tercatat beruntun pada 1945, 1946, 1947, 1950, 1951, 1952, 1953, 1954, 1955-1957, 1958, 1959, 1960. PVMBG juga mencatat aktivitas vulkanik Gunung Semeru pada 1990, 1992, 1994, 2002, 2004, 2005, 2007 dan 2008.

Harley B Satha dalam tulisannya berjudul Sepenggal Kisah Pendakian Semeru Medio 1830-1930 menulis catatan Junghuhn yang melihat erupsi Gunung Semeru pada tahun 1844.

Saat itu Junghuhn melihat letusan Gunung Semeru pada pagi dan sore hari. Suaranya terdengar menderu meraung-raung dan terlihat dari jauh, kolom asap putih kekuningan akibat sinar matahari sore di atas sudut kanan puncak Mahameru.

“Saat matahari bersinar, kerucut Gunung Semeru terlihat muncul di atas hutan dengan warna kemerahan. Cahaya yang bersinar, berubah sangat cepat menjadi abu-abu kusam, setelah gunung bergejolak,” tulisnya

Catatan lain juga ditulis oleh Cut Dwi Septiasari dalam buku Soe Hok Gie: Sekali Lagi (2009), yang merekam letusan Gunung Semeru. Sejak tahun 1967 aktivitas Gunung Semeru terus bekerja meletuskan abu dan lava.

“Pada letusan biasa, sebuah tiang asap membumbung dengan bergulung-gulung berupa ‘bom’ dan abu mencapai ketinggian 300-600 m, di atas kawah dengan interval letusan 15-30 menit. Pada tahun 1968, pertumbuhan kubah lava terus berlangsung. Terjadi banjir lahar yang membawa korban tiga orang penduduk Desa Sumber Wungkil. Juga pada tahun 1977, terjadi lagi guguran lava yang menghasilkan awan panas, ‘menyerang’ dan menghancurkan beberapa desa,” sebutnya.

Letusan besar Gunung Semeru pernah terjadi pada 29-30 Agustus 1909 yang dikenal dengan bencana Lumajang. Kemudian ada lagi letusan besar di tahun 1981 yang menewaskan ratusan penduduk di sekitarnya.

Pada 1994 terjadi letusan dan dentuman disertai hujan abu dan guguran lava membentuk awan panas. Kali ini terdapat sembilan korban yang meninggal karena awan panas dan hanyut oleh lahar.

Terdapat dua macam bahaya Semeru jika sampai meletus, bahaya primer berupa batu, kerikil, pasir dan debu panas yang dimuntahkan saat terjadi letusan. Panasnya bisa di atas 600 derajat celsius.

Bahaya sekunder berupa lahar dingin atau material piroklastik, yaitu material vulkanis, seperti pasir, kerikil, dan batu yang telah dingin.

“Bila timbunan meterial ini terbawa arus air, bisa menjerang apa saja dan menimbulkan bahaya,” ungkap Septiasari.

Kisah Gunung Semeru Sebagai Paku Tanah Jawa

Orang-orang di pulau Jawa menyebut Gunung Semeru tempat bersemayam para dewa. Semeru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa yang dalam kosmologi Hindu diartikan sebagai pusat jagat raya.

Gunung ini memang mewakili sebuah wujud kebesaran, karena memiliki ketinggian yang mencapai 3.676 m. Kedigdayaan Semeru tidak hanya tercatat dalam naskah Belanda, tetapi juga sudah terekam dalam naskah kuno Tantu Panggelaran dari abad 15.

Dalam naskah itu, diceritakan Semeru merupakan gunung yang berasal dari India. Kala itu Pulau Jawa masih terombang-ambing oleh Samudra dan kedudukannya masih belum mantap di dunia ini.

“Batara Guru, sang penguasa tunggal, lalu memerintahkan para dewa dan raksasa untuk memindahkan Gunung Mahameru di India, sebagai pemberat agar pulau itu tidak terombang-ambing lagi,” sebut Norman Edwin dalam tulisannya berjudul Pertapaan Kameswara dan Prasasti di Danau yang termuat dalam buku Soe Hok Gie…Sekali Lagi (2009).

Baca juga : Menko PMK Minta Keselamatan Korban Bencana Gunung Semeru Jadi Prioritas Utama

Kemudian para dewa dan raksasa beramai-ramai mengangkat gunung itu. Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura yang besar bukan main, lalu menggendong Mahameru.

Dewa Brahma mengubah dirinya menjadi ular yang panjang sekali, lalu melilit gunung itu agar bisa ditarik. Para dewa dan raksasa bergotong royong menyeretnya ke Tanah Jawa.

Pada proses pemindahan ini, para dewa kesulitan memilih tempat untuk menancapkan Mahameru, bila ditaruh di Jawa bagian barat, ternyata membuat bagian timur Pulau Jawa menjungkit ke atas.

Akhirnya mereka memindahkan lagi ke arah Timur, sehingga mantaplah kedudukannya di Pulau Jawa sekarang. Dalam pemindahan ini, banyak bagian dari Semeru yang tercecer dan membentuk gunung-gunung di Pulau Jawa.

Tetapi masalah belum selesai, Mahameru miring ke arah utara, sehingga diputuskanlah untuk memotong ujung gunung itu, setelahnya dipindahkan ke barat laut dengan nama Gunung Pawitra.

“Mahameru itu adalah Gunung Semeru sedangkan Pawitra sekarang dikenal sebagai Gunung Pananggungan,” jelas Edwin.

Dalam naskah Tantu Panggelaran juga diceritakan Gunung Semeru merupakan pertapaan Dewa Syiwa. Untuk memperindah pertapaannya, diceritakan lagi bahwa Dewa Syiwa telah membuat tempat pemandian yang konon itu adalah Ranu Kumbolo.

Kisah ini diperkuat dengan penemuan beberapa situs purbakala di Gunung Semeru. Prasasti itu terdapat di Ranu Kumbolo dan Arcapada.

Misalnya pada prasasti di Ranu Kumbolo yang diperkirakan telah ada sejak awal abad 12. Diceritakan sebuah kunjungan dari Kameswara, raja yang berasal dari
kerajaan Kediri.

Raja itu meninggalkan kerajaan untuk berziarah ke pemandian suci dan diduga dirinya datang ke Gunung Semeru untuk melakukan pertapaan.