Kota Medan, Dulunya Disebut ‘Tanah Deli’

Kota Medan adalah salah satu ibu kota Provinsi Sumatra Utara yang berada di pulau wilayah Indonesia bagian barat. Kota ini termasuk kota terbesar ketiga di Indonesia setelah DKI Jakarta dan Surabaya.

Dilihat dari segi geografis, sebagian wilayah Kota Medan terdiri dari berupa rawa-rawa kurang lebih seluas 4.000 ha serta beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Topografi wilayah kota Medan yang mempunyai tinggi lebih dari 2,5-3,75 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Kabupaten Deli Serdang adalah salah satu daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan.

Selain itu, Medan memiliki posisi strategis sebagai wilayah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka yang dijadikan sebagai pintu masuk kegiatan perdagangan barang dan jasa yang mendorong perkembangan kota Medan saat ini.

Hal ini dikarenakan Medan telah dijadikan pusat pemerintahan dan perkembangan perekonomian sejak dahulu.

Lantas bagaimana sejarah dan asal-usul Kota Medan hingga bisa terbentuk menjadi kota yang dikenal saat ini? Melansir dari berbagai sumber, berikut kami telah merangkumnya. Simak penjelasannya di bawah ini, yuk!

1. Dahulu Medan merupakan wilayah yang dikenal dengan nama Tanah Deli

1. Dahulu Medan merupakan wilayah dikenal nama Tanah Deli

Instagram.com/nederlandsch_indie_zone

Awalnya, Kota Medan dijuluki sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Tanah Deli. Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus yang berlokasi di Tanah Deli.

Sejak zaman penjajahan orang dulu sering menggabungkan nama Medan dengan Deli (Medan-Deli). Setelah zaman kemerdekaan lambat laun dengan seiring berjalannya waktu istilah Medan Deli berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang populer.

Pada tahun 1860, Medan merupakan wilayah yang masih terdiri dari belahan wilayah hutan rimba dan di muara-muara sungai dikelilingi oleh permukiman-permukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya.

Pada tahun 1863 silam, orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang pernah menjadi primadona di Tanah Deli. Sejak saat itu perekonomian kian berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatra Utara.

2. Perkembangan Kampung Medan dan Tembakau Deli

2. Perkembangan Kampung Medan Tembakau Deli
Instagram.com/perfectlifeid

Sebuah kampung kecil bernama “Medan Putri” merupakan awal dari perkembangan yang tidak terlepas dari posisinya yang strategis dikarenakan terletak pada pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, yang tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang.

Pada zaman dahulu kedua sungai tersebut merupakan jalur lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga kemudian Kampung “Medan putri” yang merupakan cikal bakal Kota Medan, semakin cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan mata pencaharian orang di Kampung Medan yang mereka menjulukinya dengan si Sepuluh dua Kuta artinya bertani menanam lada.

Guru Patimpus, pendiri Kampung Medan merupakan orang yang berpikiran maju pada zamannya. Hal itu terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) dan membaca Alquran pada Datuk Kota Bangun dan memperdalam agama Islam di Aceh.

Pada tahun 1612, dua dasawarsa berdirinya Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi seorang pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli.

Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, yang meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang memproklamasikan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, sekitar 20 km dari Medan.

Begitu pesatnya perkembangan Kampung “Medan Putri”, tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan daun tembakau yang sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.

Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, dilakukan pemindahan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung “Medan Putri”. Dengan demikian, “Kampung Medan Putri” menjadi semakin ramai dan berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai “Kota Medan”.

3. Legenda Kota Medan

3. Legenda Kota Medan
Instagram.com/perfectlifeid

Berdasarkan legenda di zaman dahulu kala pernah hidup seorang Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya dijuluki nama Putri Hijau yang terletak di Kesultanan Deli dari Kampung Medan yakni di Deli Tua. Kecantikan Putri ini terpandang di penjuru Aceh sampai ke ujung Utara Pulau Jawa.

Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Namun lamaran tersebut ditolak oleh saudara kedua laki-laki Putri Hijau, membuat Sultan Aceh sangat marah atas penolakan itu yang dianggap sebagai penghinaan terhadap dirinya. Terjadilah perang antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli.

Menurut legenda yang disebutkan di atas, dengan menggunakan kekuatan gaib seorang dari saudara Putri Hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga mati.

Kesultanan Deli mengalami kekalahan dalam peperangan itu, sehingga menyebabkan Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat kedalam kapal untuk dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau meminta untuk mengadakan satu upacara untuknya sebelum diturunkan dari kapal dengan persembahan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri dikabulkan.

Dari dalam laut muncullah sang kakak yang telah menjelma jadi ular naga dan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, serta dibawanya masuk ke dalam laut.

Legenda ini menjadi kisah yang terkenal di kalangan masyarakat Deli dan bahkan masyarakat Melayu di Malaysia.

4. Penjajahan Belanda di Tanah Deli

4. Penjajahan Belanda Tanah Deli
Instagram.com/kovermagz

Untuk menguasai Tanah Deli Belanda kurang lebih 78 Tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Gubernur Jendral Belanda J.Van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatra dan untuk menguasai Sumatra secara keseluruhan diperlukan waktu 25 Tahun.

Pada 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian karena daerah Deli telah masuk kekuasaan Belanda termasuk, Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, namun kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.

Pada 30 November 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente (Kota Praja) Medan, sehingga remsi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda dengan wali kota Baron Daniel Mac Kay.

Secara sejarah perkembangan Kota Medan, sejak awal Medan dijadikannya sebagai ibu kota Deli yang juga telah memposisikan Kota Medan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) dan berkembang menjadi pusat pemerintah sampai saat ini. Di samping itu merupakan salah satu daerah kota dan sekaligus menjadi ibu kota Provinsi Sumatra Utara.

5. Kota Medan masa Penjajahan Jepang

5. Kota Medan masa Penjajahan Jepang

Instagram.com/medannapoleon

Tahun 1942, penjajahan Belanda berakhir di Sumatra. Bersamaan dengan tentara Jepang yang mendarat di Sumatra berpangkalan di Shonato, tepatnya mendarat tanggal 12 maret 1942. Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, dengan membawa semboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena dianggap sebagai saudara Tua orang-orang Asia, sehingga membuat mereka disambut kedatangannya.

Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang, situasi Kota Medan kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya saat zaman Belanda disebut “Gemeente Bestuur” oleh Jepang mengubah menjadi “Medan Sico” (Pemerintahan Kotapraja).

Penguasaan Jepang semakin menyebar di Kota Medan, mereka membuat masyarakat semakin patuh dengan kondisi demikianlah bagi Jepang semakin mudah untuk menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanya sekadar semboyan saja.

Di wilayah sebelah Timur Kota Medan yaitu Marindai sekarang telah dibangun Kengrohositai berupa pertanian kolektif. Di kawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang Polonia, mereka membangun landasan pesawat tempur Jepang.

6. Kota Medan menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia

6. Kota Medan menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia

Instagram.com/medan.side

Di seluruh Indonesia menjelang tahun 1945 bergema persiapan Proklamasi begitu juga di Kota Medan tak ketinggalan para tokoh pemuda melakukan berbagai macam persiapan. Mendengar bahwa bom atom telah jatuh melanda Kota Hiroshima, artinya kekuatan Jepang sudah lumpuh.

Terutama di kawasan kota Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya segera menghentikan segala kegiatannya, khususnya yang berhubungan dengan pembinaan dan pengerahan pemuda. Secara resmi, pada tanggal 20 Agustus 1945 kegiatan ini dibubarkan karena pada hari itu pula penguasa Jepang di Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan Jepang.

Tanggal 17 Agustus 1945 gema Kemerdekaan telah sampai di kota Medan meskipun terhalang karena media komunikasi saat itu sangat sederhana sekali. Sekelompok kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1 September 1945 dipimpin oleh Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang.

Namun, pada akhirnya dengan perjalanan semangat juang para pemuda mengadakan berbagai aksi supaya bagaimanapun Kemerdekaan tetap harus ditegakkan di Indonesia termasuk yang menjadi bagiannya juga di kota Medan. Para Pemuda tersebut adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Rustam Efendy, Edisaputra, Roos Lila, A.Malik Munir, Gazali Ibrahim, Bahrum Djamil, Muhammad Kasim Jusni dan Marzuki Lubis.

7. Julukan Medan Paris van Sumatra

7. Julukan Medan Paris van Sumatra
website.com/dinaspariwisatakotamedan

Penyebutan Medan sebagai Paris van Sumatra bukan karena Medan persis layaknya kota Paris melainkan dalam bahasa Belanda, Deliaan – Deli, atau disebut sebagai tuan kebun Belanda. Di Deli ini merasa bahwa suasana Paris yang terkesan romantis, etos, gelora Paris berhubungan dengan jiwa mereka. Artinya, jiwa yang penuh semangat, keberanian, serta kerja keras atas kota yang mereka bangun dengan uang sendiri.

Dikarenakan hal ini, Delian bisa menyebar di setiap sudut Kota Medan. Bangunan gedung bercorak art deco berwarna cat putih, ragam monumen, taman, jalanan, serta di ruang publik Kota Medan terdapat simbol terkait perkebunan. Tiap-tiap sudut kota tersebut menampilkan citra Eropa dan kebanggaan diri sebagai Deliaan.

8. Peninggalan sejarah bangunan di Medan bergaya khas Belanda

8. Peninggalan sejarah bangunan Medan bergaya khas Belanda
Instagram.com/bangricowaas

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Kota Medan merupakan tempat yang banyak akan tempat bersejarah. Terdapat bangunan-bangunan tua di Medan yang masih menyisakan arsitektur bercorak khas Belanda.

Pada tiap-tiap arsitektur khas Eropa klasik terlihat kental pada bangunan kota ini. Didominasi berwarna putih, membuat bangunannya terlihat begitu anggun dan elegan. Contohnya, Gedung Balai Kota Lama, Menara Air Tirtanadi (yang merupakan ikon kota Medan), Kantor Pos Medan, Titi Gantung-sebuah jembatan di atas rel kereta api, Bank Indonesia, Gedung London Sumatra serta Bangunan tua di daerah Kewasan.

Tak hanya itu, masih ada berbagai bangunan bersejarah, seperti Masjid Raya Medan, Istana Maimun, Masjid Raya Al Osmani, dan juga rumah Tjong A Fie berlokasi di kawasan Jalan Jend. Ahmad Yani (Kesawan).

Daerah Kesawan ini masih meninggalkan bangunan-bangunan tua, seperti bangunan  PT London Sumatra, dan ruko-ruko tua. Ruku-ruko tersebut, saat ini berubah menjadi sebuah pusat jajanan makanan yang ramai pada malam harinya.

——————————————————–

Sumber : Reka Ardiyana