Di tengah modernitas, masyarakat global berlomba-lomba melakukan banyak pengembangan dan inovasi di berbagai bidang, termasuk hunian. Sobat Pariwisata bisa melihat berbagai jenis desain gedung dan rumah yang semakin beragam. Namun, perkembangan di bidang ini tidak berlaku bagi masyarakat Suku Dani, Papua. Mereka lebih memilih mempertahankan rumah adat yang telah diwariskan turun temurun.
Honai merupakan rumah adat khas Suku Dani yang tinggal di Lembah Baliem, Pegunungan Jayawijaya, Papua. Sebenarnya, rumah adat Papua ini memiliki banyak nama sesuai dengan jenisnya. Penyebutan nama honai dilakukan untuk memudahkan masyarakat luar. Konon, honai telah menjadi rumah Suku Dani sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu dan masih terus digunakan hingga hari ini.
Honai berasal dari dua kata, yaitu hun yang berarti laki-laki dan ai yang berarti rumah. Jadi, honai sebenarnya merupakan rumah yang diperuntukkan bagi kaum laki-laki dewasa. Kaum perempuan dilarang untuk memasuki honai milik kaum laki-laki. Sementara rumah bagi kaum perempuan disebut Ebai, berasal dari kata ebe yang berarti tubuh dan ai yang berarti rumah.
Anak perempuan dan anak laki-laki tinggal bersama perempuan dewasa tinggal di rumah ebai. Rumah ini juga digunakan untuk mendidik anak perempuan yang akan menjadi ibu setelah menikah. Sementara anak laki-laki yang telah beranjak dewasa, harus pindah ke honai. Di sana mereka akan dididik berbagai tanggung jawab sebagai laki-laki, seperti mempertahankan suku, cara berburu, dan sebagainya.
Selain kedua rumah tersebut, honai memiliki banyak jenis yang lain, seperti honai yang digunakan untuk musyawarah acara adat, honai yang digunakan untuk membicarakan peperangan, juga honai yang diguanakan sebagai kandang hewan ternak.
Honai merupakan rumah yang ramah lingkungan karena keseluruhan bangunannya berasal dari hasil alam yang mudah ditemukan. Jika dilihat dari udara, rumah ini tampak seperti sebatang jamur. Dindingnya seperti lingkaran atau persegi panjang dengan bagian atap berbentuk kerucut atau seperti sengah batok kelapa. Dinding honai berasal dari batang kayu dan anyaman. Sementara atapnya berasal dari alang-alang atau jerami.
Atap honai dibuat hampir menutupi dinding di bagian bawah. Hal ini berfungsi untuk menahan air hujan agar tidak masuk ke dinding. Honai memiliki tinggi sekitar 2,5 meter dengan diameter sekitar 5 meter. Ruangan yang sempit akan menjaga suhu di rumah honai tetap hangat. Selain itu, honai juga memiliki perapian di bagian tengah untuk membuat penghuninya semakin hangat.
Keunikan lain rumah ini adalah pintu yang berjumlah satu dan tanpa jendela. Hal tersebut juga dilakukan agar hawa dingin di luar yang bisa mencapai 10-15 derajat celcius, tidak masuk ke dalam rumah. Pintu rumah honai dibangun menghadap matahari terbit atau terbenam agar para penghuni bisa lebih siaga saat terjadi kebakaran atau serangan musuh.
Meskipun terlihat kecil, rumah honai bisa menampung 5-10 orang. Rumah ini juga memiliki dua lantai. Lantai bawah yang memiliki perapian, digunakan untuk tempat berkumpul dan musyawarah. Sementara lantai atas digunakan sebagai tempat tidur dan beristirahat.
Pembangunan honai dilakukan dengan gotong royong, sehingga hanya perlu 2-3 hari. Namun, sebelum pembangunan dilakukan, perlu ditetapkan waktu yang tepat agar pembangunannya tidak terhambat oleh cuaca mupun bencana.
Honai merupakan wujud persatuan, kerukunan, dan kekeluargaan yang menjadi prinsip hidup masyarakat Papua. Selain sebagai identitas budaya, rumah ini pun menjadi sarana untuk mendidik generasi-generasi Suku Dani selanjutnya. Sobat Pariwisata! Pada tahun 2016, honai ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Papua.(Nita)
Leave a Reply