PariwisataIndonesia.id – Sobat Pariwisata, panen madu adalah pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Butuh perlengkapan khusus dan pelindung diri untuk menghindari sengatan lebah, pemilik sarang tersebut. Namun, orang Petalangan tidak membutuhkan itu semua. Mereka hanya butuh satu hal, nyanyian!


Di Pelalawan, Riau, panen sarang lebah dikenal dengan istilah Menumbai Sialang. Menumbai berasal dari kata tumbai atau umbai yang berarti turun atau menurunkan dengan tali dan bakul. Hal tersebut mengacu pada proses penurunan sarang lebah yang dipanen.
Menumbai Sialang dilakukan pada sarang lebah Apis dorsata binghami yang tinggal di pohon Sialang. Lebah ini merupakan salah satu jenis lebah yang hidup dia Asia Tenggara dan Selatan. Proses panen ini dilakukan dengan mendendangkan syair-syair untuk memikat dan membujuk para lebah agar bersedia menyerahkan sarang madu mereka. Meskipun terdengar aneh, nyatanya hal tersebut bisa diwujudkan.


Tradisi Manumbai Sialang terus dilakukan oleh orang Petalangan, masyarakat asli yang tinggal di Pelalawan. Mereka mempertahankan tradisi ini secara turun menurun. Menumbai Sialang telah menjadi mata pencaharian mereka.
Menumbai Sialang dipimpin oleh seorang ahli yang disebut Juragan Tuo dan dibantu oleh beberapa juru panjat yang disebut Juragan Mudo. Juragan Tuo bertanggung jawab atas keselamatan para Juragan Mudo dari berbagai ancaman, seperti sengatan lebah, gangguan mahluk gaib, dan binatang liar.
Beberapa perlengkapan yang dibutuhkan saat Menumbai Sialang, yaitu timbo atau timba yang diberi tali, ubo atau tempat untuk memeras sarang lebah, serta tunam atau obor yang terbuat dari kulit kayu. Tunam merupakan satu-satunya penerang yang diguankan dalam Menumbai Sialang.
Menumbai Sialang dimulai dengan pelangkahan atau pembacaan mantra yang dilakukan sebelum berangkat menuju pohon Sialang. Setibanya di depan pohon Sialang, Juragan Tuo kembali melantunkan mantra sebagai bentuk penghormatan dan permintaan izin pada para roh halus penunggu pohon. Kegiatan ini disebut Menuo Sialang.
Selanjutnya, Juragan Tuo lalu menepuk-nepuk pangkal pohon sebagi isyarat kepada para lebah bahwa mereka telah tiba untuk bertamu. Jika terdengar dengungan, artinya para lebah telah mengetahui kehadiran para pemanen. Jika dengungan tidak juga terdengar, Menumbai Sialang akan ditunda.
Tahap selanjutnya adalah pasu atau melenakan atau menghipnotis para lebah dengan pembacaan mantra khusus. Hal tersebut dilakukan agar para lebah terbang dan tidak menyengat. Seusai melakukan pasu, Juragan Mudo akan memanjat sambil membaca mantra khusus dan mendekatkan obor kearah sarang yang masih banyak lebahnya.
Sarang yang telah berhasil didapatan kemudian diturunkan dengan menggunakan timba dan diambil oleh Tukang Sambut yang telah bersiap di bawah pohon. Jika proses panen telah selesai, Juragan Tuo lalu melepas pasu atau melepas hipnotis untuk menyadarkan para lebah.


Memanen sarang lebah dengan teknik Menumbai Sialang memiliki banyak tantangan. Pohon yang tinggi dan penerangan yang minim menjadi tantangan bagi para Juragan. Selain itu, dalam satu pohon tidak selalu terdapat sarang yang siap panen.
Untuk mendapatkan hasil maksimal, Menumbai Sialang hanya dilakukan 2-3 kali dalam setahun. Menurut orang Petalangan, lebah hanya empat kali bersarang di pohon Sialang yaitu saat musim bunga jagung, musim bunga padi, selepas menuai, dan semasa menebang menepas ladang. Dari keempat musim tersebut, madu yang paling diminati adalah madu putih yang berasal dari musim bunga padi.
Pada tahun 2015, Menumbai Pelalawan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Provinsi Riau.(Nita)
Leave a Reply