PariwisataIndonesia.id – Sobat Pariwisata, kematian anggota keluarga menjadi salah satu peristiwa yang membawa kesedihan dan kepedihan bagi pihak yang ditinggalkan.
Tidak jarang anggota keluarga tidak menerima kenyataan tersebut dan terus larut dalam duka mendalam. Untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan, masyarakat Simalungun punya cara tersendiri, yang disebut Huda-huda.
Huda-huda atau toping-toping adalah salah satu kesenian yang berasal dari Simalungun, Sumatera Utara. Kesenian ini telah dilakukan turun-temurun sejak masa Kerajaan di Simalungun.
Pada masa itu, dikisahkan bahwa putra tunggal raja meninggal dunia. Permaisuri yang sangat bersedih, tidak mengijinkan orang untuk menguburkan jasad putranya.
Ia terus memeluk jasad tersebut hingga berhari-hari bahkan hingga jasad sang putra membusuk. Hal itu pun menjadi pembicaraan di kalangan rakyat, yang juga mencari cara agar jasad pangeran dapat segera dikuburkan.
Pembicaraan tersebut juga dilakukan oleh parpongkalan nabolon (sekelompok orang yang berkumpul dalam suatu pertemuan). Melalui candaan dan gurauan yang dilakukan, tercetuslah sebuah ide. Mereka lalu datang ke Bolon (istana) untuk mempertunjukan satu kesenian yang akan menghibur sang permaisuri.
Para penari terdiri dari tiga orang. Salah satunya mengenakan kostum dengan bentuk dan ekor panjang menyerupai kuda serta membawa kepala burung enggang. Burung ini diyakini sebagai perantara yang akan membawa arwah orang mati bertemu Tuhan.
Penari yang menggunakan kostum ini juga melangkah dan menari seperti kuda yang dalam Bahasa Simalungun disebut huda. Inilah asal muasal penyebutan nama Tari Huda-huda.
Dua penari lain menyelubungi tubuhnya dengan kain dan menggunakan topeng berwajah perempuan dan topeng berwajah laki-laki. Meskipun terdapat dua jenis topeng, tapi seluruh penari merupakan kaum laki-laki.
Baca juga : Berciri Khas Ulos
Dalam bahasa Simalungun, topeng disebut toping. Itu sebabnya, Tari Huda-huda juga disebut Tari Toping-toping. Tarian diringi suara musik, para penari melakukan gerakan yang lucu dan menghibur.
Mendengar kemeriahan yang terjadi, permaisuri pun tertarik dan turun ke bagian luar Bolon untuk ikut menyaksikan pertunjukan tersebut. Ia ikut terhibur dan sejenak melupakan pangeran yang telah meninggal.
Baca juga : Majukan Pariwisata Indonesia Lewat Alat Musik Tiup Khas Sumatera Utara
Kesempatan tersebut digunakan oleh raja untuk mengambil jasad sang putra dan segera menguburkannya. Sejak saat itu, tari Huda-huda dipertunjukan saat ada anggota keluarga kerajaan yang meninggal dunia, baik tua maupun muda.
Dalam perkembangannya, tari Huda-huda hanya dipentaskan jika anggota keluarga kerajaan yang meninggal adalah sayurmatuah. Sayurmatuah adalah seorang yang telah lanjut usia, memiliki anak perempuan dan laki-laki yang semuanya telah menikah, serta telah memiliki cucu.
Mereka dianggap telah mendapatkan berkah kehidupan karena seluruh cita-citanya telah tercapai. Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan di Simalungun melebur ke dalam wilayah NKRI. Sejak saat itu tidak ada pembeda antara keluarga kerajaan dan rakyat biasa.
Aturan tari Huda-huda pun kembali mengalami perubahan. Tari ini boleh dipentaskan pada acara kematian sayurmatuah seluruh lapisan masyarakat. Upacara kematian masyarakat Simalungun terdiri menjadi dua bagian.
Pertama, mandingguri yaitu acara yang dilakukan pada malam hari. Pada saat itu, seluruh anggota keluarga akan menari di hadapan jenazah diiringin seperangkat gondang sipitu-pitu.
Upacara kedua, dilakukan keesokan siangnya disebut mangiliki. Upacara ini dilakukan sebelum jenazah dikuburkan. Pada upacara kedua inilah tari Huda-huda kerap dipentaskan, sebagai hiburan untuk anggota keluarga yang ditinggalkan juga untuk para pelayat.
Musik pengiring tari Huda-huda terdiri dari seperangkat gondang sidua-dua yang terdiri dari satu buah sarunai bolon (sejenis alat musik tiup), dua buah gonrang (gendang), dua buah mongmongan (gong berukuran kecil), dan dua buah ogung (gong berukuran besar).
Di masa sekarang, tari Huda-huda sudah cukup langka dipentaskan. Namun, untuk menjaga kelestarian dan mengenalkannya pada masyarakat luas, tari ini turut dihadirkan dalam pertunjukan budaya. Pada tahun 2014, pemerintah menetapkan tari Huda-huda sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari provinsi Sumatera Utara.


Sobat Pariwisata, di era globalisasi peradaban manusia terus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Termasuk budaya barat yang negatif yang tidak sesuai dengan adat budaya timur seperti Indonesia. Jangan bangga dengan masyarakat yang berdomisili di kota-kota besar, cara berpakaian, cara bicara, bahkan sifatnya penyuka budaya asing.
Mereka ini lebih bangga pada kebudayaan orang lain, mencemooh apa yang telah nenek moyang wariskan kepada kita, yaitu berupa “Kebudayaan”. Katakan kepada mereka yang tak mencintai Tanah Airnya!
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarah”, kutipan tersebut adalah kalimat yang pernah diucapkan Presiden Indonesia Pertama, Ir Soekarno.
Menjunjung kebudayaan sendiri sejalan dengan yang dimaknai Bung Karno, yaitu “Bangsa yang besar adalah bangsa yang berbudaya”. Maka dari itu, jangan abaikan budaya sendiri, Sob!
Mari kita melestarikan nilai-nilai luhur dengan mengenal lebih dalam makna dan filosofis kebudayaan Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Salah satu caranya, tulis melalui kolom komentar di bawah ini terkait judul yang mengambil tema “Tari Huda-huda, Pelipur Lara Ala Simalungun”, apa tanggapan, Sobat Pariwisata? (Nita/Kusmanto)
Leave a Reply