Pariwisata Indonesia

Yadnya Kasada di Jawa Timur

Ritual Tahunan Suku Tengger

Ritual Tahunan Suku Tengger

Ada yang unik dengan mayarakat Suku Tengger di kaki Gunung Bromo. Masyarakat ini memiliki perayaan tahunan yang diadakan pada bulan Kasada tepatnya pada tanggal 14, ketika bulan purnama penuh. Perayaan yang hanya dilakukan oleh umat Hindu Suku Tengger ini bernama Yadnya Kasada.

Yadnya Kasada berasal dari Bahasa Sansekerta, yaj yang berarti memuja, mempersembahkan atau korban suci. Yadnya Kasada bisa diartikan sebagai korban suci yang diadakan secara ikhlas oleh Agama Hindu pada bulan tertentu dalam sistem penanggalan Hindu-Jawa.

Pariwisata Indonesia

Menurut sejarah, awal mula perayaan ini dilakukan sejak zaman Majapahit. Sekitar abad ke-14, Pabu Brawijaya V yang merupakan raja terakhir Majapahit memiliki seorang putri dari salah satu selirnya. Putri itu bernama Dewi Roro Anteng. Ketika dewasa, Dewi Roro Anteng pun menikah dengan Raden Joko Seger yang merupakan keturunan Brahmana.

Saat Majapahit diambang kehancuran, kedua pasang suami-istri itu beserta prajuitnya melarikan diri hingga ke kaki Gunung Bromo. Mereka pun menamai lokasi itu dengan nama ‘Purbowasesa Mangkurat ing Tengger’ yang artinya Penguasa Tengger yang Budiman. Sementara nama Tengger yang merupakan akronim dari Dewi Roro Anteng dan Raden Joko Seger.

Pariwisata Indonesia

Selama bertahun-tahun, Roro Anteng dan Joko Seger tidak jua dikarunia keturunan. Mereka pun melakukan semedi atau tapa di kaki Gunung Bromo. Pada suatu hari, terdengar suara gaib dari Sang Hyang Widhi yang berjanji akan mengabulkan permintaan keduanya dengan syarat anak bungsu mereka harus dikorbankan di kawah Gunung Bromo. Roro Anteng dan Joko Seger pun menyetujuinya.

Tahun berganti tahun, 25 anak telah lahir dari pasangan Roro Anteng dan Joko Seger. Saat waktunya untuk mengorbankan anak bungsu yang bernama Raden Kesuma, suami-istri itu merasa berat. Mereka pun mengingkari janji yang telah terucap.

Pengingkaran ini membuat Dewa murka dan akhirnya api memancar dari kawah Gunung Bromo. Jilatan api merenggut sang putra bungsu dan membawanya masuk ke dalam kawah.

Sebelum menghilang dalam kawah, masih terdengar teriakan Raden Kesuma yang mengatakan bahwa dirinya dikorbankan untuk menyelamatkan seluruh masyarakat Suku Tengger. Ia juga berpesan agar setiap tahun di bulan yang sama pada tanggal ke-14, saudara-saudaranya memberikan sesaji pada Sang Hyang Widhi ke kawah Gunung Bromo. Kebiasaan itu lalu diikuti turun-temurun oleh masyarakat Tengger.

Berabad-abad setelahnya, perayaan Yadnya Kasada terus dilakukan setiap tahun. Masyarakat Suku Tengger percaya bahwa hal tersebut menjadi kewajiban yang jika tidak dilakukan akan membawa malapetaka. Meskipun di tanggal yang telah ditentukan terjadi hujan, badai, bahkan erupsi, mereka akan tetap melakukan Yadnya Kasada ini.

Upacara Yadnya Kasada akan berlangsung sejak tengah malam hingga dini hari. Masyarakat Suku Tengger akan berbondong-bondong berjalan menuju Pura Luhur Poten yang terletak di sebidang tanah luas di kaki Gunung Bromo. Sebelum upacara di mulai, dukun harus terlebih dahulu melakukan semeningga, yaitu persiapan upacara yang bertujuan untuk memberitahukan Para Dewa bahwa upacara akan segera dimulai.

Pariwisata Indonesia

Selanjutnya, masyarakat pun berjalan beriringan menuju kawah Gunung Bromo untuk melarungkan ongkek yang berisi sesaji berupa sayuran, produk ternak, buah-buahan, bahkan uang ke dalam kawah Gunung Bromo. Di masa sekarang, banyak pengemis dan Suku Tengger pedalaman yang akan bersiap di pinggir kawah untuk menangkap sesajen yang dilarungkan.

Pariwisata Indonesia

Perayaan Yadnya Kasada tidak hanya khusus dihadiri oleh umat Hindu Suku Tengger. Masyarakat Suku Tengger yang beragama lain pun ikut datang dalam perayaan ini. Perayaan ini juga menarik minat para wisatawan domestik maupun manca negara.

Ketika wabah Covid 19 melanda seluruh dunia, masyarakat Suku Tengger tetap menjalankan perayaan Yadnya Kasada. Perayaan tersebut berlangsung pada tanggal 6-7 Juli 2020 silam. Tentunya dengan menjalankan protokol kesehatan dan membuat ritual tertutup dari orang luar.

Jika tahun depan pandemik sudah mereda, Sobat Pariwisata bisa menyaksikan perayaan yang menarik banyak wisatawan ini. Jangan lupa untuk tiba beberapa hari sebelum ritual diadakan dan lengkapi diri dengan pakaian tebal, untuk mencegah udara dingin malam menusuk tubuh.(Nita/RPI)