PariwisataIndonesia.id – “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri”, ungkapan ini pernah diucapkan Presiden Indonesia Pertama, Ir. Soekarno.
Masih sejalan dengan hal tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bangsa yang besar dan memiliki sejarah panjang yang menyertai, bahkan jauh sebelum bangsa ini berdiri.
Untuk itu, editorial Pariwisata Indonesia kali ini menyoroti tiga hal. Pertama, di balik sejarah “Candi Borobudur sebagai mahakarya peninggalan kerajaan Mataram kuno yang didorong menjadi pariwisata berkualitas”. Kedua, “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10, TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN”.
Ketiga, maraknya protes masyarakat atas wacana kenaikan tarif wisata Candi Borobudur.
Saat ini, Pemerintah memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah, juga mengatur dan mengelola urusan kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Termasuk kebijakan Pemerintah tekan resesi, mengundang investasi asing masuk ke Indonesia. Dari pendanaan itu, harapannya akan menggerakkan ekonomi nasional, yang akhirnya menyerap lapangan kerja seluas-luasnya.
Bila mengacu dari pesan Bung Karno pada paragraf pertama -mengawali editorial ini- sejarah juga menjadi sangat penting dipelajari. Dengan mengenal sejarah, akan memperoleh pengetahuan begitu besar dan semakin mencintai Indonesia.
Sengkarut ketiganya, kini bagai makan buah simalakama.
Mengingat, hak konstitusi adalah hak yang melekat pada setiap warga negara dalam memperoleh perlindungan, kesetaraan kedudukan di muka hukum, kehidupan yang layak, dan kesejahteraan.
Perihal tersebut berkaitan dengan bumi, air, dan kekayaan alam lainnya telah diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Lanjut dari itu, pertanyaan mendasar ini, pantas pula direnungkan oleh semua pihak. Dalam konteks konstitusi dan ketatanegaraan, untuk siapa bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia dan bagaimana kedudukan negara atas sumber daya alam?
Karena, pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 telah disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tatkala mencermati UU Kepariwisataan pada “BAB VII TENTANG HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN”, yang terdapat di Pasal 18.
Tidak serta merta bisa ujug-ujug langsung diterapkan, terlebih di pasal berikutnya juga mensyaratkan setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata, melakukan usaha pariwisata, menjadi pekerja/buruh pariwisata; dan/atau, berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan. (diatur sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 2009, red).
Pasal yang dimaksud, tertera pada Bab III tentang “PRINSIP PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN”, yang makin lebih jauh lagi mengatur secara mendalam pilar pembangunan pariwisata Indonesia, antara lain:
- Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan;
- Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;
- Memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;
Berkaca dari hal tersebut, tak pelak, pembangunan pariwisata Indonesia di masa mendatang tidak boleh mengabaikan hak setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual atau menikmati keindahan pariwisata.
Singkatnya, semua lapisan masyarakat dari yang paling miskin sampai kaya mempunyai kedudukan yang sama, tanpa mengenal kasta sosial.
Wajar saja, bila arah pembangunan pariwisata Indonesia di masa mendatang, mestinya tidak semua bertujuan mengeruk cuan sampai “bergunung-gunung” alias “mengejar keuntungan” berbau amis “kapitalisme”.
Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya Nusantara tetap lestari agar tak lekang dimakan zaman.
Di mana hal tersebut, juga didasarkan atas rekomendasi dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan banyak pakar. Maka, Pemerintah mewacanakan pembatasan pengunjung untuk sampai ke stupa Candi Borobudur dengan menaikkan tarif masuk ke puncak Candi Borobudur menjadi Rp 750.000 bagi wisatawan Nusantara dan US$100 untuk wisatawan mancanegara.
Ia pun menegaskan, upayanya itu juga akan bisa ikut menopang infrastruktur candi ini sendiri.
Semula, wisatawan domestik hanya merogoh kocek untuk tarif per orang berkunjung ke Candi Borobudur yang terletak di Jawa Tengah, usia 10 tahun ke atas Rp50.000 dan usia 3 tahun sampai 10 tahun Rp25.000.
“Biaya 100 dollar untuk wisman (wisatawan mancanegara) dan turis domestik sebesar 750 ribu rupiah,” tulis Luhut lewat caption unggahan Instagram-nya, seperti dikutip PariwisataIndonesia.id, Minggu (5/6/2022).
Lantaran keputusan tersebut, sontak menuai banyak respons kontra dari masyarakat dianggap kelewat mahal. Tak ayal, Menko Luhut menjadi bulan-bulanan netizen di media sosial.
Sebab, keadilan itulah yang kini dipersoalkan.
“Murah banget pak, harusnya 1jt/orang. Tumben bapak baik banget?,” komentar @asfari_wafiq97, menanggapi penjelasan Menko Luhut dalam akun Instagram pribadinya itu.
Keinginan tersebut sudah pasti mulia, karena selaras dengan pembangunan destinasi wisata berkualitas tinggi, mengedepankan prinsip ekonomi biru, hijau, dan sirkular.
Walau tujuan pembatasan kuota pengunjung lewat penetapan harga baru tiket masuk kawasan wisata itu maksudnya mulia, muncul pertanyaan, benarkah pemerintah sudah mengalami kebuntuaan cari solusi menjaga kelestarian Candi Borobudur?
Ibarat “tak pandai menari, lantai disalahkan tak rata”, tak ada cara lainkah yang jauh lebih ramah untuk kantong dari kebanyakan masyarakat negeri ini?
Bersikeras dengan langsung “ketok palu” penaikan tarif jadi berlipat-lipat, akan bisa menimbulkan tafsiran Candi Borobudur cuma didedikasikan untuk kaum berduit, dan bila bola liar itu tak berkesudahan.
Buntutnya, dikhawatirkan, bisa pula berdampak pada menurunnya kepercayaaan masyarakat kepada Pemerintah.
Akan ada saja persepsi, “Rakyat Miskin” cukup menatap dari kejauhan atau “Dinasti Syailendra yang membangun tidak pernah memikirkan mencari keuntungan finansial karena candi itu didedikasikan sebagai tempat pemujaan Buddha dan tempat ziarah”.
Oleh karena itu, agar keadaan tidak semakin memburuk dan menyeret ke arah konflik sosial dan SARA, belum terlambat bagi Pemerintah untuk mengkaji secara saksama penetapan besaran tiket masuk pada Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) satu ini, atau lebih dulu sosialisasi dampak bila pengunjung tak dibatasi yang dikedepankan.
Bukankah, masih ada DPSP lain selain Borobudur, seperti Danau Toba, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang sebagai konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan yang juga berpotensi untuk mensubstitusi?
Jikalau pariwisata Indonesia super berkualitas diperuntukkan bagi orang-orang kaya, maka untuk Borobudur berkenankah mengecualikan itu. Kemudian, tidak secara sepihak tetapi mau juga mendengarkan dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat dari semua lapisan.
Jangan sampai “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10, TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN yang sudah sangat baik ini malah memunculkan pepatah“, tumpul ke atas dan tajam ke bawah”.
Di tengah konservasi Candi Borobudur yang masih terus diupayakan, dan berpegang pada pengharapan, mari kita bersama belajar menahan diri sambil menunggu keputusan akhir, percayakan pada Pemerintah yang pastinya paham untuk yang terbaik buat semua ini.
Gerakan kolektif yang terbangun atas dasar keresahan dan kegundahan masyarakat akhir-akhir ini, juga jangan pula seolah-olah, malah mengkerdilkan peran UU Kepariwisataan hadirkan DPSP Borobudur jadi pariwisata berkualitas antara harapan dan kenyataan. (eh)
Leave a Reply