Kota Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai tempat pengasingan ayah dari Presiden Indonesia kelima atau Putri Proklamator RI, Prof. Dr. Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri.
Hal tersebut berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, De Jonge, tertanggal 28 Desember 1933.
Sebab, kegiatan politik Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dianggap dia, akan bisa membahayakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Tak hanya Presiden Soekarno, sang istri, yakni Inggit Garnasih, termasuk anak angkatnya bernama Ratna Djuami dan Kartika, serta mertuanya, Ibu Amsi turut diasingkan di kota yang sama.
Sejak itulah, Kota Ende akhirnya dikenal pula sebagai tempat lahirnya Pancasila.
Pasalnya, selama di tempat pengasingan membuat Bung Karno lebih berpikir jernih tentang banyak hal. Mulai dari mempelajari agama Islam lebih mendalam, belajar tentang pluralisme, hingga melakukan kegiatan melukis maupun menulis drama pementasan.
Dalam pengasingannya itu, Soekarno kerap merenung berjam-jam di sebuah taman di Kota Ende, tepatnya di bawah pohon sukun yang rindang.
Buah dari renungan di bawah pohon sukun tersebutlah yang melahirkan tiap butir nilai kehidupan dalam Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia.
Di balik momen Hari Lahir Pancasila yang diiperingati Setiap 1 Juni, jejak sejarah di kota tersebut juga diungkapkan kembali oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno melalui instagram pribadinya setahun silam.
“Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya, Jasmerah! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” tulis orang nomor satu di lingkungan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia dalam akun @sandiuno, pada Kamis (2/12/2021).
Itulah cikal bakal mengapa Kota Ende disebut sebagai “Kota Pancasila”.
Dua hari dengan bulan yang sama di tahun berikutnya, tentunya, selepas Sandiaga dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu, 23 Desember 2020.
Di kesempatan itu, bak ksatria yang gagah berani ia menegaskan sikap, sudah menginjakkan kaki di salah satu wisata sejarah yaitu Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende, NTT.
“Di tempat ini kita masih bisa merasakan suasana zaman dahulu, membangkitkan rasa nasionalisme, mengenang sekaligus menapaki perjuangan founding father kita menuju jalan kemerdekaan. Semoga cita-cita Bapak pendiri bangsa dapat terus kita wujudkan, yaitu memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, melalui kemandirian ekonomi dan penciptaan LAPANGAN KERJA seluas-luasnya,” tutupnya.
Berdasarkan laman Kemdikbud seperti dikutip PariwisataIndonesia.id dari detik.com, Bung Karno diasingkan di Ende, Pulau Flores mulai 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938.
Disebutkan dalam laman Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya, pengasingan ini bermula dari pertemuan politik di kediaman Muhammad Husni Thamrin pada 1 Agustus 1933 di Jakarta.
Soekarno ditangkap seorang komisaris polisi saat dia keluar dari kediaman Husni Thamrin. Bung Karno pun diasingkan selama delapan bulan tanpa adanya proses pengadilan. Saat itu, Soekarno diputuskan diasingkan ke Ende saat usianya 32 tahun.
Dalam masa pengasingannya di rumah milik Haji Abdullah Ambuwaru, Bung Karno memikirkan rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dia memperoleh gagasan atau inspirasi saat merenung di bawah pohon sukun.
Soekarno rupanya mendapat ide dari lima cabang pohon itu. “Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila,” ujar Bung Karno saat itu. Inilah cerita di balik julukan Kota Ende sebagai Kota Pancasila.
Empat tahun sembilan bulan empat hari setelah Bung Karno diasingkan di Ende, tepatnya 18 Oktober 1938, dia dipindahkan ke Bengkulu.
Kemudian pada tahun 1951 Presiden RI pertama itu kembali mengunjungi Ende. Saat itu dirinya bertemu Haji Abdullah Ambuwaru dan menyampaikan niatnya agar rumah pengasingannya itu dijadikan museum.
Pada kunjungan keduanya tanggal 16 Mei 1954, Bung Karno akhirnya meresmikan rumah tersebut sebagai Rumah Museum.
Kisah Pohon Pancasila
Di bawah pohon sukun di kota pengasingannya, Bung Karno dahulu biasa duduk selama berjam-jam. Buku Kisah istimewa Bung Karno menyebutkan, beberapa murid Soekarno seperti Djae Bara dan lainnya yang ada di Ende pernah mengatakan, perenungan Presiden pertama RI itu biasanya dilakukan pada Jumat malam.
Pohon sukun tersebut menghadap ke laut Pantai Ende dan jaraknya dari rumah pengasingan hanya 700 meter. Akan tetapi, pohon aslinya sebetulnya sudah tumbang pada tahun 1970-an. Pohon yang asli pada akhirnya diganti dengan pohon sukun serupa dan dijuluki sebagai Pohon Pancasila sejak 1980-an. (Mr)
Leave a Reply