Halo, Gaes!
Lebaran emang identik dengan kegiatan salam-salaman dan menghindari pukul-pukulan. Tapi di destinasi Pariwisata Indonesia di Maluku, baku pukul atau saling pukul malah menjadi salah satu tradisi dalam merayakan Idul Fitri, loh. Eits! Ini bukan baku pukul biasa, ya Gaes ya.
Namanya Baku Pukul Manyapu. Tradisi ini dilakukan setiap tahun pada tanggal 7 Syawal dalam penanggalan Hijriah, Gaes. Tradisi yang diyakini sudah ada sejak abad ke-17 ini dilakukan oleh para pemuda dari Desa Morela dan Mamala, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Seperti namanya, tradisi saling memukul ini menggunakan alat berupa lidi sepanjang 1,5 meter yang berasal dari pohon enau.
Di tradisi Baku Pukul Manyapu, masing-masing desa akan diwakili oleh 10 orang pemuda yang hanya mengenakan celana dan ikat kepala. Penggunaan ikat kepala ini sangat penting untuk melindungi bagian telinga dari sabetan lidi. Sebaliknya, bagian dada sengaja dibiarkan terbuka karena merupakan area sasaran pukul dari lawan. Nah! Untuk membedakan, setiap kelompok diharuskan mengenakan celana dan ikat kepala dengan warna berbeda.
Sebelum Baku Pukul Menyapu dimulai, para pemain akan menjalankan ritual tertentu dan didoakan oleh para tetua adat. Sst! Ritual ini diyakini akan mengurangi rasa sakit dan menambah kekuatan selama permainan, loh.


Ketika suling dibunyikan dan obor dinyalakan, para pemain pun mulai saling pukul dengan diiringi tabuhan rebana, suling, dan sorakan penonton. Oh ya, tradisi yang berlangsung sekitar 30 menit ini dilakukan bergantian. Ketika giliran kelompok yang satu memukul, kelompok yang lain harus mengangkat tangan setinggi-tingginya dan pasrah untuk disabet oleh lidi.
Jangan ngebayangin saling pukul ini dilakukan dengan lembut, ya Gaes ya. Karena dalam Baku Pukul Menyapu, pukul memukul dilakukan dengan penuh kekuatan dan tenaga. Makanya enggak jarang tubuh para pemainnya memar hingga berdarah. Meski begitu, tidak ada dendam yang tersisa setelah tradisi ini berakhir. Malahaan, tradisi ini menjadi simbol kerukunan, perdamaian, dan penyambung silaturahmi.
Menurut cerita, tradisi Baku Pukul Manyapu didasari oleh dua peritiwa penting, Gaes. Yang pertama adalah perjuangan Kapitan Telukabessy dan pasukannya melawan VOC pada tahun 1637 hingga 1646 dalam pertempuran yang dinamakan Perang Kapahaha.
Meski sudah berusaha mati-matian, Benteng Kapahaha yang merupakan benteng alami berupa bukit batu terjal di Hutan Morella, ternyata harus jatuh ke tangan Belanda. Nah! Untuk mengingat perjuangan yang telah dilakukan, pasukan Telukabessy pun saling cambuk menggunakan lidi hingga berdarah.
Peristiwa kedua yang mendasari tradisi Baku Pukul Manyapu adalah keberhasilan pembangunan masjid tanpa paku. Dikisahkan bahwa setelah kekalahan dalam Perang Kapahaha, Raja Negeri Mamala beserta rakyatnya diperintahkan oleh Belanda untuk turun dari gunung dan pindah ke pesisir agar mudah diawasi.
Selain tempat tinggal, raja dan rakyat pun membangun masjid yang bernama Masjid Al-Muhibbin. Tapi karena enggak ada paku, pembangunan masjid jadi terbengkalai, Gaes. Saat itu, seorang tokoh Islam dari Maluku yang bernama Imam Tuni pun melakukan serangkaian ibadah dan doa terus-menerus, hingga akhirnya mendapat petunjuk melalui mimpi yaitu menggunakan potongan kain putih yang telah dibasahi dengan minyak tasala untuk menyambung kayu. Dengan cara tersebut, masjid tanpa paku pun berhasil dibangun pada tanggal 7 Syawal.
Oh ya, Gaes. Minyak tasala atau minyak nyualaing matetu ini juga yang dioleskan ke tubuh para pemain setelah tradisi Baku Pukul Manyapu berakhir. Ajaibnya, luka yang diolesi dengan minyak ini akan cepat sembuh dan tidak meninggalkan bekas.
Fyi, sejak tahun 2016 Baku Pukul Manyapu sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, loh. Kalo penasaran dengan tradisi yang satu ini, yuk, manfaatin libur Lebaran lo untuk berkunjung ke Provinsi Maluku.
Pewarta: Anita Basudewi Simamora
COPYRIGHT © PI 2023
Leave a Reply