Di masa sekarang, Meriam Karbit digunakan untuk memeriahkan malam takbiran di tepi Sungai Kapuas. (Foto : KemenpanRB)

Bukan Petasan dan Kembang Api

Meriahnya Fetival Meriam Karbit pada Malam Takbiran di Pontianak

Meriahnya Fetival Meriam Karbit pada Malam Takbiran di Pontianak

Halo, Gaes!

Siapa, nih, yang suka main petasan dan kembang api menjelang lebaran? Kegembiraan setelah sebulan berpuasa emang biasanya dirayakan dengan berbagai cara, termasuk dengan menyalakan petasan dan kembang api. Tapi Kota Khatulistiwa, ada yang beda, loh.

Di destinasi Pariwisata Indonesia yang ada di Pontianak, Kalimantan Barat, masyarakat merayakan malam 1 Syawal dengan Festival Meriam Karbit, Gaes. Seperti namanya, permainan rakyat yang satu ini memang memiliki bentuk dan cara kerja seperti meriam, yaitu dengan disulut api pada sumbunya. Bedanya, bahan pembuatan Meriam Karbit bukan dari logam. Sementara penyematan kata karbit diberikan karena meriam ini menggunakan karbit sebagai bahan bakarnya.

Penggunaan meriam di Pontianak diyakini sudah ada sejak abad ke-18, loh. Dikisahkan bahwa seorang bangsawan Arab bernama Syarif Abdurrahman Alkadrie datang ke Kalimantan untuk menyebarkan ajaran Islam. Ketika mengarungi Sungai Kapuas, beliau menembakkan meriam ke daratan untuk mengetahui ada atau tidaknya penduduk di sana.

Karena tidak ada yang menjawab, Syarif Abdurrahman Alkadrie pun membangun Masjid Jami di daratan tersebut. Kemudian beliau juga membangun Kesultanan Kadriah dan menjadi raja pertamanya. Fyi, Kesultanan Kadriah (1771-1808) inilah yang menjadi cikal bakal Kota Pontianak.

Diceritakan saat pembukaan lahan baru di daerah tersebut, Sultan Syarif dan pasukannya diganggu oleh para kuntilanak yang konon tinggal di sana, Gaes. Maka sang sultan pun kembali menembakkan meriam untuk mengusir kuntilanak-kuntilanak tersebut.

Meriam yang memiliki panjang 4 hingga 7 meter dan diameter hingga 50 cm ini dicat warna-warni serta dibungkus kain dengan berbagai motif. (Foto : Lensakalbar)

Dalam perkembangannya, meriam ini digunakan untuk menandakan awal pertama Bulan Ramadhan oleh pihak Kesultanan Kadriah. Kemudian di masa penjajahan, meriam pun berkali-kali ditembakkan. Suaranya yang memekakkan telinga membuat para penjajah percaya bahwa rakyat Pontianak memiliki persenjataan yang hebat. Wah! Strategi yang cerdas, ya Gaes ya.

Di masa sekarang, Meriam Karbit digunakan untuk memeriahkan malam takbiran di tepi Sungai Kapuas. Acara yang dilangsungkan setiap tahun ini bahkan menjadi salah satu agenda Pariwisata Indonesia unggulan di Provinsi Kalimantan Selatan dengan nama Festival Meriam Karbit.

Bukan hanya masyarakat Pontianak, wisatawan lokal dan asing pun banyak yang datang ke tepian Sungai Kapuas untuk menikmati festival ini. Eits! Bukan sekedar melihat dan mendengarkan dentuman meriam, loh. Para pengunjung juga berkesempatan menyalakan meriam ini dengan membayar retribusi.

Pada awalnya, Meriam Karbit dibuat dari bahan bambu, Gaes. Bahan untuk membuat meriam ini kemudian digantikan oleh batang kelapa dan pinang agar lebih awet. Dalam perkembangannya, batang kayu meranti dan mabang yang sudah tidak digunakan menjadi pilihan untuk membuat Meriam Karbit.

Untuk membuat Meriam Karbit, bagian tengah batang kayu harus dikeruk terlebih dahulu kemudian diberi pelumas agar kedap air dan suara. Batang kayu ini lalu disatukan dan dililit sepanjang badan dengan rotan agar kuat. Nah! Untuk memperpanjang usia dan agar tidak dimakan rayap, kayu harus direndam di Sungai Kapuas selama beberapa malam.

Selain menghasilkan suara yang memekakkan teling, Meriam Karbit di tepi Sungai Kapuas juga memiliki penampilan yang estetik. Soalnya, meriam yang memiliki panjang 4 hingga 7 meter dan diameter hingga 50 cm ini dicat warna-warni serta dibungkus kain dengan berbagai motif.

Oh ya, Gaes, sejak tahun 2010 Meriam Karbit sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, loh. Jika ingin menyaksikan Festival Meriam Karbit, sempatkan untuk berkunjung ke Kota Khatulistiwa ini, ya Gaes ya.

Pewarta:  Anita Basudewi Simamora
COPYRIGHT © PI 2023