PariwisataIndonesia.id – Sobat Pariwisata, pasti sudah tidak asing dengan istilah mumi, bukan? Mumi adalah mayat yang diawetkan dengan cara alami ataupun kimiawi yang disebut mumifikasi.
Baca juga : Nikmati Destinasi Indah di Manokwari, Berikut Rekamannya!
Mumifikasi (KBBI) adalah perubahan yang terjadi pada mayat karena penguapan cairan jaringan sehingga proses pembusukan oleh bakteri yang terdapat dalam saluran pernapasan dan pencernaan terlambat yang menyebabkan tubuh menjadi kering dan susut, kulit berwarna kehitam-hitaman, keras, dan kaku.
Baca juga : 5 Destinasi Wisata Terfavorit di Manokwari
Teknik pengawetan mayat ini memang terkenal dan identik dengan Negara Mesir, meskipun sebenarnya mumifikasi juga dilakukan oleh masyarakat di berbagai benua seperti Amerika, Afrika, Eropa, Asia, hingga Pasifik.
Di Indonesia, mumifikasi yang diketahui dilakukan di dua daerah, yaitu Mumi Kaki More di Nusa Tenggara Timur dan Akonipuk di Lembah Baliem, Papua.
Akonipuk berasal dari Bahasa Hubula yang berarti manusia yang dikeringkan. Proses ini dilakukan oleh masyarakat Papua, Indonesia juga Papua Nugini. Anofikasi di Papua, Indonesia, berkaitan erat dengan ajaran animisme (kepercayaan pada roh-roh) yang dianut oleh masyarakat Suku Dani dan Suku Hubulla di Lembah Baliem.
Baca juga : Jembatan Youtefa! Ikon Baru Kebanggaan Tanah Papua
Proses akonipuk di Papua berbeda dengan mumifikasi di daerah lain, termasuk Mesir. Alih-alih menggunakan balsem, masyarakat Papua menggunakan teknik pengasapan untuk mengawetkan jenazah.
Akonipuk dilakukan penuh kesakralan di dalam salah satu rumah honai laki-laki. Proses ini diawali dengan upacara khusus. Beberapa perlengkapan yang dipersiapkan untuk proses ini antara lain sege (tombak berukuran kecil), pisau tulang, dan kayu akasia.
Proses ini dimulai dengan menekuk tubuh jenazah hingga berada dalam posisi jongkok. Tubuh yang telah ditekuk tersebut kemudian diikat pada sebatang kayu. Penekukan tubuh dilakukan untuk mempermudah pengeluaran carian, darah, dan isi perut dari dalam tubuh.
Dengan menggunakan sege, isi tubuh tersebut dikeluarkan melalui bagian dubur. Selain itu, bagian-bagian sendi seperti siku, paha, dan ketiak juga diiris-iris untuk membantu mengeluarkan darah dari bagian lain.
Selanjutnya, mayat pun diasapi di atas bara api yang berasal dari pembakaran kayu akasia hutan. Proses ini dilakukan setiap hari selama 3 bulan lamanya agar seluruh lemak tubuh keluar dan jenazah menjadi kering sempurna.
Pelaksanaan akonipuk hanya boleh dilakukan oleh pria dewasa. Selama proses tersebut berlangsung, para pria tersebut harus terus berada di dalam rumah honai.
Mereka tidak diperbolehkan mandi, membersihkan diri atau terkena air. Jika hal tersebut dilanggar, diyakini tubuh jenazah yang tengah diakonipuk akan rusak.
Setelah proses akonipuk selesai, mumi tersebut akan diletakkan di tempat yang tinggi dan menghadap pemukiman, atau disimpan di rumah honai.
Sebagai perawatan, setiap hari mumi akan dijemur di bawah matahari selama beberapa jam. Selain itu, mumi tersebut juga diolesi minyak babi setiap 2-3 hari sekali.
Sama seperti mumifikasi pada masa Pharaoh di Mesir, hanya jenazah orang-orang penting saja yang pantas diakonipuk. Orang-orang tersebut antara lain, kepala suku, panglima perang, atau pemimpin spriritual. Mereka dianggap sebagai tokoh berpengaruh yang menguasai Lembah Baliem.
Masyarakat Papua percaya, mengawetkan jenazah para tokoh yang diagungkan akan menjaga jiwa mereka untuk tetap bersama para penduduk. Jiwa-jiwa tersebut diyakini akan menjaga desa. Selain itu, para mumi yang berpengaruh ini juga menjadi pemersatu antar suku.
Di Papua terdapat sekitar 5 mumi akonipuk. Jika berkunjung ke Papua, khususnya Lembah Baliem, Sobat Pariwisata bisa menemukan mumi ini. Di antaranya bahkan ada yang telah berusia 300 tahun. Selain dipercaya sebagai penjaga desa, kehadiran mumi ini juga menjadi daya tarik para wisatawan.
Pada tahun 2018, akonipuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Provinsi Papua. (Nita/Ksm/Ridwan).
Leave a Reply