Topi! Lo pasti tahu aksesoris yang satu ini, kan? Selain sebagai penghias kepala, topi juga memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari sinar matahari. Tapi ada juga topi yang bukan sekedar topi biasa. Misalnya, Ti’i Langga, topi kebanggaan Orang Rote!
Ti’i Langga berasal Bahasa Rote (dialek Termanu), yaitu ti’i yang berarti pelindung dan langga yang berarti kepala. Jadi ti’i langga dapat dimaknai sebagai pelindung kepala atau topi. Tapi kemudian, ti’i langga digunakan untuk menyebut topi khas destinasi Pariwisata Indonesia di Pulau Rote, Gaes.
Kalo dilihat sekilas, Ti’i Langga hampir mirip dengan sombrero atau topi milik orang Meksiko. Topi yang sudah ada sejak abad ke-13 atau saat Portugis menjajah Indonesia ini, emang diduga meniru penutup kepala orang Eropa, Gaes. Bedanya, di bagian depan Ti’i Langga terdapat tanduk atau cula yang sering disebut antena.
Antena pada Ti’i Langga cukup unik karena terbuat dari sehelai daun dengan sembilan tingkatan. Angka sembilan dianggap sebagat angka sempurna dan tertinggi dalam bilangan satuan. Angka sembilan ini juga melambangkan jumlah suku yang ada di Pulau Rote, meskipun yang tersisa kini hanya tinggal 8 suku, Gaes.
Antena setinggi 40-60 cm ini menjadi simbol kepemimpinan. Bentuknya yang tegak menjadi pengingat bahwa kekuasaan harus dilaksanakan secara tegak lurus. Soalnya pada masa lalu, Ti’i Langga emang kerap dipakai oleh manek atau raja. Sementara lekukan melingkar di antena menjadi simbol dukungan masyarakat terhadap kebijakan atau peraturan raja.
Hingga sekarang, belum ada data pasti mengenai siapa penemu Ti’i Langga. Tapi, menurut penuturan lisan Orang Rote, topi ini pertama kali dibuat oleh Fifino Dulu. Dikisahkan bahwa suatu ketika Fifino Dulu dan anaknya yang bernama Tua Fifino pergi untuk mencari ikan. Mereka kemudian mendapatkan kura-kura dan ikan pari.
Setelah lelah melaut, keduanya beristirahat di bawah pohon lontar yang rimbun agar tidak tersengat terik matahari. Fifino Dulu lalu mengambil satu helai utuh daun lontar untuk dijadikan pelindung kepala. Tapi melihat bentuknya yang kurang estetik, Tua Fifino mengeluarkan hasil tangkapan mereka, lalu meminta sang ayah untuk menganyam lontar menjadi pelindung kepala berbentuk kura-kura dan memiliki sayap seperti pari.
Ti’i Langga dibuat dari daun pohon lontar (Borassus flabellifer). Pohon yang hidup di daerah kering ini memiliki batang tunggal dengan tinggi sekitar 15-30 meter dan diameter sekitar 60 cm. Pohon lontar memiliki umur panjang, bahkan hingga 100 tahun lebih, loh.
Pohon lontar memiliki helaian daun besar yang terkumpul di bagian ujung dan membentuk lingkaran menyerupai kipas bundar. Daun dari pohon ini sering digunakan untuk membuat beragam kerajinan tangan, termasuk Ti’i Langga.
Di masa lalu, Ti’i Langga hanya boleh dibuat dari pohon lontar tua yang memiliki nilai sejarah, misalnya pohon yang ditanam saat terjadi perang atau pohon yang ditanam saat memperingati hari kelahiran anak raja. Makanya, topi ini limited edition, Gaes, dan hanya digunakan oleh orang-orang tertentu.
Seiring perkembangan zaman, Ti’i Langga pun mulai digunakan oleh masyarakat umum. Selain sebagai pelindung kepala, topi ini juga kerap digunakan oleh para penerima tamu undangan atau untuk aksesoris dalam tari tradisional. Ti’i Langga pun kerap diburu oleh para pelancong yang datang ke Negeri Seribu Bukit ini.
Oh ya, Gaes, pada tahun 2020, Ti’i Langga sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Kalo berkunjung ke destinasi Pariwisata Indonesia di Nusa Tenggara Timur, jangan lupa membeli topi kebanggaan Orang Rote ini, ya Gaes ya.
Pewarta: Anita Basudewi Simamora
COPYRIGHT © PI 2023
Leave a Reply