Pagi itu, Kamis, 4 Mei 2016 yang lalu, cuaca cerah berbalut udara segar menyelimuti base camp pendakian Sembalun. Sinar mentari dari ufuk timur terlihat sudah mulai bertugas, mulai meninggi dan menyilaukan mata. Sejenak aku tertegun menikmati segarnya udara pagi itu, sembari mengemasi peralatan untuk memulai perjalanan.
Meski hari masih pagi, base camp sudah mulai dipadati pendaki yang datang dari berbagai penjuru. Tak ingin ketinggalan, ransel yang ukurannya melebihi tinggi badan segera kusandangkan di bahuku. Ransel itulah yang akan menemani perjalananku menapaki jalur menuju puncak Gunung Rinjani.
Gunung Rinjani berada di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dengan tinggi 3.726 mdpl, banyak objek menarik yang ditawarkan Gunung Rinjani selain puncak, seperti hamparan padang rumput yang luas, Danau Segara Anak, Goa Susu, sumber pemandian air panas, air terjun, dan sepertinya masih banyak lagi yang lainnya.
Ada tiga jalur resmi untuk mencapai puncak Gunung Rinjani, yakni Jalur Sembalun, Senaru, dan Torean. Kami pilih Sembalun, sebab dibandingkan jalur lain Sembalunlah yang paling landai walaupun cukup panjang.
Waktu di arloji saat itu menunjukkan jam sepuluh pagi. Sejenak kami meluangkan waktu untuk berdoa sebelum memulai perjalanan menuju puncak.
Kemudian, perlahan langkah kaki kecilku mulai menyusuri jalan setapak. Gerombolan sapi yang mencari makan terlihat asyik berkeliaran saat kakiku melangkah melewati hamparan padang rumput. Di kejauhan, lambaian daun nyiur bergoyang-goyang ditiup angin seolah sedang memberi salam kepada kami yang sedang bertualang.
Melalui jalan setapak tanpa ujung Gunung Rinjani
Sejauh mata memandang, jalan setapak yang ada di depan seolah tanpa ujung. Puncak Rinjani pun belum terlihat, menandakan perjalanan masih jauh dan panjang.
Tiga jam berjalan menyusuri jalan setapak, akhirnya kami sampai di Pos 1. Waktunya melepas penat untuk meredakan nyeri di bahu yang lama menyandang ransel yang cukup berat. Tak lama-lama di Pos 1, perjalanan pun kemudian kami lanjutkan.
Padang rumput masih jadi panorama yang mengiringi sepanjang perjalanan saat itu. Dalam perjalanan, kami banyak menjumpai pendaki lain. Ada yang berjalan berombongan seperti kami, ada pula yang didampingi oleh pemandu dan porter yang membawa barang bawaan mereka.
Porter-porter itu seperti tak punya rasa lelah. Padahal barang yang mereka bawa tidaklah sedikit. Mereka membawa barang dengan cara memikulnya di bahu dan berjalan tanpa alas kaki. Sebagian di antara mereka berkulit legam akibat sengatan sinar matahari. Namun, mereka terlihat enak saja berjalan, bahkan jauh di depan mendahului pendaki yang menyewa jasa mereka.
Dari kejauhan, sebuah bangunan kecil mulai tampak. Pos 2. Perlahan kami mendekatinya, kemudian duduk beristirahat di sisi luar bangunan itu. Pos 2 itu penuh sesak oleh pendaki lain yang sudah lebih dulu tiba di sana.
Waktu saat itu baru menunjukkan jam dua siang dan kami memutuskan untuk beristirahat lebih lama di pos itu. Dalam hitungan menit, peralatan memasak pun dikeluarkan. Sejurus kemudian, secangkir kopi hitam terhidang. Lumayan untuk menghangatkan badan yang mulai kedinginan karena kabut mulai turun menyelimut.
Tertidur saat menunggu hujan reda di Pos 2
Tak jauh dari Pos 2 ini ada sumber air yang dimanfaatkan oleh para pendaki untuk mengisi kembali botol minum yang sudah kosong. Namun, hari itu untuk mengisi air kami mesti sedikit bersabar, sebab antrean cukup panjang.
Suasana berkabut saat itu tiba-tiba berubah. Hujan turun dengan derasnya dari langit. Air yang tercurah itu memaksa kami untuk menempel lebih rapat ke dinding agar tak terkena percikan. Ditunggu-tunggu, hujan deras itu tak kunjung reda. Mataku pun mulai mengantuk terbuai hawa sejuk.
Aku bangun jam setengah empat sore. Hujan hanya tadi deras sekarang sudah reda. Saatnya kembali melanjutkan perjalanan.
Medan yang kami hadapi mulai terjal, berbatu, dan berliku. Hari mulai gelap. Langkah kaki pun dipercepat untuk mencapai Pos 3, sebelum hari benar-benar gelap. Meski dengan langkah cepat, aku mesti tetap hati-hati supaya tidak terjatuh.
Tiba di Pos 3 kami langsung mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Tanpa komando, kami mulai bagi tugas. Sebagian mempersiapkan tenda, sebagian lagi menyiapkan makan malam. Malam itu kami akan bermalam di Pos 3 untuk mengembalikan kondisi fisik yang terkuras oleh perjalanan panjang.
Cuaca malam itu bersahabat. Bulan dikelilingi gemintang. Melihatnya, lelah akibat perjalan seharian tadi terasa terbayarkan. Malam yang dingin itu jadi hangat karena kami makan malam dengan menu ala mapala. Rasanya hotel berbintang sekali pun takkan bisa mengalahkan pengalaman berkemah malam itu.
Bermalam di Pos 3 Jalur Sembalun Gunung Rinjani
Kami berempat memilih memanjakan raga malam itu di dalam tenda. Sementara, di luar sana masih terlihat pendaki yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan meskipun sudah larut malam.
Malam itu kami habiskan dengan bercerita dan bersenda gurau, entah membicarakan hal penting atau hanya saling lempar cerita pepesan kosong untuk saling mengenal satu sama lain.
Secangkir kopi menjadi saksi bisu kisah kami malam itu hingga masing-masing dari kami merebahkan badan di atas matras pengganti kasur. Hingar bingar suara pendaki lain yang masih terjaga sedikit mengusik ketenangan tidur malam ini.
Kamis berganti Jumat, 5 Mei 2016. Bulan yang sepanjang malam tadi menemani kami sudah berganti tugas jaga dengan sang matahari. Meski kantuk masih mendera, perjalanan hari kedua masih harus dilanjutkan demi menggapai puncak Gunung Rinjani.
Saat itu sudah jam sembilan pagi. Kami bergegas mengemasi peralatan. Setelah semua barang yang kami bawa masuk ke dalam ransel, kami menyisakan sedikit makanan ringan sebagai bekal sekaligus sarapan dalam perjalanan. Tak lupa kami melaksanakan ritual wajib untuk berdoa sebelum melanjutkan perjalanan.
Ketika perjalanan hari kedua dimulai, aku kembali teringat dengan kutipan novel 5cm yang cukup terkenal itu: “Saat ini yang dibutuhkan hanya kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih kuat dari biasanya, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya serta mulut yang akan selalu berdoa.”
Kutipan itu ternyata tak hanya sesuai untuk menggapai Mahameru, namun juga cocok untuk perjalanan kami menuju puncak Gunung Rinjani.
Menuju Plawangan Sembalun
Medan perjalanan mulai terasa berat di hari kedua. Jalan setapak berpasir dan berbatu sedikit menghambat perjalanan—terjal pula! Sementara, di kejauhan yang terlihat hanya gugusan perbukitan. Puncak Gunung Rinjani belum juga kelihatan.
Tujuan kami hari itu adalah Pos Plawangan, yang dari sana puncak Gunung Rinjani dan Danau Segara Anak tampak dengan jelas. Untuk mencapai Plawangan, aku harus melewati bukit yang dikenal sebagai Tujuh Bukit Penyesalan. Meskipun namanya sedikit menyeramkan, bukit itu tetap harus ditempuh. Bagaimana melewati tujuh? Satu saja sudah menguras tenaga.
Rasa penasaran pun menghantuiku. Seberapa lama perjalanan yang harus ditempuh untuk melalui bukit-bukit itu? Beberapa kali aku mencoba bertanya kepada pendaki lain yang sedang dalam perjalanan turun. Namun, jawaban dari mereka seperti membebani secara psikologis—sebaiknya tak usah dihiraukan.
Lima jam berlalu. Akhirnya kami tiba di Pos Plawangan saat hari sudah beranjak sore. Perut mulai menagih asupan gizi. Kami pun segera mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Dibanding pos-pos sebelumnya, Pos Plawangan terletak di posisi yang jauh lebih tinggi, terbuka, dan hanya punya beberapa rumpun pepohonan. Alhasil, tempat ini diterpa tiupan angin yang lebih kencang.
Malam ini kami putuskan untuk beristirahat lebih awal dari malam sebelumnya. Rencananya, esok dini hari kami akan melanjutkan perjalanan menuju puncak. Dari tempat kami mendirikan tenda, setidaknya masih perlu waktu lima jam untuk mencapai puncak. Memaksimalkan waktu istirahat untuk menjaga kondisi fisik adalah hal terpenting dari setiap kegiatan apa pun, apalagi mendaki gunung.
Menuju titik tertinggi Gunung Rinjani
Sabtu dini hari, 6 Mei 2016, tepat jam dua dini hari kami memulai perjalanan menuju puncak. Harapannya, kami bisa tiba di Puncak Anjani sekitar jam tujuh pagi.
Kondisi jalur yang sempit saat itu sudah mulai ramai ketika kami memulai perjalanan menuju puncak. Trek berpasir dan berdebu sedikit menghambat perjalanan, juga antrean pendaki lain yang punya tujuan sama, yakni menuju puncak.
Akhirnya, sesuai dengan rencana, kami berhasil tiba di puncak Gunung Rinjani tepat pukul tujuh pagi. Suasana di puncak ketika kami sampai laksana pasar yang penuh dengan keriuhan dan keramaian.
Sungguh indah pemandangan yang disuguhkan: Segara Anak dan Gunung Barujari (anak Gunung Rinjani) terlihat jelas dari atas puncak. Syukur, hanya itu yang bisa diucapkan karena untuk mencapai puncak ini butuh perjuangan yang tidak mudah. Ini adalah balasan dari kerja keras untuk melihat keindahan yang Dia ciptakan.
Di antara pendaki yang berada di Puncak Anjani pagi itu, ada yang terlihat asyik berfoto ria sambil memegang secarik kertas bertuliskan ucapan entah apa—tren yang sedang mewabah saat ini. Yang menjengkelkan adalah usai berfoto kertas-kertas itu mereka tinggalkan begitu saja sehingga berserakan di mana-mana. Mengganggu pemandangan.
Sejenak batinku tertegun melihat tingkah polah pendaki yang seperti itu. Miris memikirkan bahwa tujuan akhir dari mendaki seolah-olah hanyalah pamer diri di media sosial tanpa peduli keadaan sekitar.
Kembali ke “Base Camp” Sembalun Lawang
Usai mengabadikan gambar sebagai bukti sudah mencapai puncak, sekitar jam sembilan pagi kami pun mulai turun perlahan meninggalkan puncak.
Sesuai kesepakatan semalam, kami akan langsung kembali ke base camp. Mewujudkan impian untuk menyentuh air Danau Segara Anak pun terpaksa harus aku urungkan. Kami harus mengejar waktu.
Tepat pukul enam sore, kami tiba kembali di base camp. Jika menggapai puncak memerlukan waktu lebih dari 16 jam, perjalanan turun hanya memakan waktu sekitar 6 jam!
Banyak pengalaman berharga yang terbayar dari perjalananku menuju puncak Gunung Rinjani. Selain menyuguhkanku panorama alam yang indah, perjalanan ini juga mengajarkan arti sebuah perjuangan dalam mencapai tujuan.
————————————————
Sumber : Nur Widya Ningrum
Leave a Reply