Sagu (Metroxylon sagu Rottb) merupakan salah satu sumber karbohidrat, selain beras. Bahan makanan menjadi sumber makanan pokok terutama bagi masyarakat di Indonesia timur. Sedangkan bagi masyarakat lain, sagu kerap dijadikan bahan campuran dalam berbagai kuliner.
Pembuatan tepung sagu diawali dengan memotong pokok sagu dari pohon yang berusia tiga hingga lima tahun. Pohon sagu yang menyerupai pohon palma ini, biasa dapat ditemukan di daerah tepian sungai atau rawa-rawa. Bonggol dari pohon tersebut kemudian diperas hingga sari patinya keluar. Dari sari pati inilah kemudian dihasilkan tepung sagu murni yang siap diolah.
Sebagai salah satu daerah penghasil sagu, masyarakat Papua menjadikan sagu sebagai sumber makanan. Bahkan bagi masyarakat adat Papua, sagu bukan sekedar makanan, tapi juga memiliki legenda kisah penjelmaan manusia. Oleh karena itu, penebangan Sagu biasanya dilakukan dengan upacara khusus sebagai rasa syukur dan penghormatan.
Di Provinsi Papua Barat, sagu diolah menjadi berbagai jenis kuliner, dari yang memiliki cita rasa asin, tawar, hingga manis. Salah satu olahan sagu yang terkenal dari provinsi yang beribukota di Manokwari ini adalah Papeda.
Papeda atau dao merupakan olahan sagu yang berbentuk kenyal dan lengket. Namun, di balik penampilan yang unik tersebut, Papeda menjadi salah satu kuliner dengan rasa yang unik dan layak dicoba, terutama oleh pemburu kuliner.
Johszua Robert mansoben, antropolog sekaligus Ketua Lembaga Riset Papua menyatakan bahwa papeda merupakan sajian masyarakat adat Sentani dan Abrab di Danau Sentani dan Arso, serta Manokwari. Seiring perkembangan, kuliner ini pun mulai banyak dikenal oleh masyarakat luas baik di wilayah Indonesia Timur hingga Indonesia Barat.
Kuliner ini terbuat dari tepung sagu yang disiram dengan air mendidih. Kedua campuran tersebut lalu diaduk searah hingga mengental dan berubah warna menjadi bening keabu-abuan. Setelah proses ini, akan dihasilkan bubur yang tampak seperti lem.
Uniknya, tepung sagu yang digunakan untuk membuat Papeda bukanlah tepung sagu yang biasanya beredar di pasaran. Namun, tepung sagu khusus yang memiliki tekstur yang putih bersih, agak basah dan padat. Pemilihan tepung sagu yang berkualitas sangat penting karena akan mempengaruhi kualitas Papeda yang dihasilkan.
Percampuran tepung sagu dan air menghasilkan Papeda dengan rasa yang tawar. Oleh karena itu, kuliner ini dikonsumsi dengan menu lain, seperti ikan tongkol bumbu kuning, sambal colo-colo, atau sayur ganemo yang terbuat dari campuran daun melinjo muda, papaya muda, dan cabai merah.
Cara untuk memakan Papeda sendiri terbilang unik. Kuliner ini tidak dikunyah di dalam mulut, tapi diseruput dan langsung ditelan, seperti menyedot minuman. Sensasi geli di tenggorokan akan dirasakan bagi mereka yang baru pertama kali mengkonsumsi Papeda.
Papeda tidak menjadi makanan pokok. Kuliner ini hanya merupakan makanan selingan atau dihidangkan pada acara-acara tertentu, misalnya upacara Watani Kame, yaitu upacara yang menandakan berakhirnya siklus kematian seseorang.
Papeda merupakan sumber karbohidrat yang kaya akan serat, rendah kolesterol, dan rendah lemak. Papeda juga kaya akan berbagai nutrisi, seperti protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, dan zat besi. Sagu sendiri diyakini memiliki berbagai manfaat, diantaranya mengatasi perut kembung, memperlancar pencernaan, mengurangi resiko kegemukan, menghilangkan penyakit batu ginjal, hingga membersihkan paru-paru.
Sobat Pariwisata! Selain di Papua, Papeda juga terkenal di Propinsi Maluku. Panganan ini juga sering disajikan oleh masyarakat Sulawesi Selatan dengan nama Kapurung. Pada tahun 2015, Papeda ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Papua Barat. Yuk! Cobain kuliner unik nan bernutrisi ini.(Nita)
Leave a Reply