Dra. Siti Hartati Murdaya atau Hartati Murdaya Poo, merasa terpanggil untuk menggunakan pengaruhnya sebagai tokoh wanita penting di negeri ini dengan mengungkapkan rasa keprihatinannya.
Menyoroti pemikiran Siti Hartati Murdaya berjudul, “Pandangan Umat Buddha di Indonesia terhadap Potensi dan Permasalahan Pengembangan Candi Borobudur sebagai Wisata Ziarah”.
Dikutip PariwisataIndonesia.id melansir laman walubi.or.id, pada Selasa (18/05/1999), ditulis dalam tiga seri yang tak terpisahkan satu dengan lainnya, hal ini terkait soal pandangannya tentang Candi Borobudur.
Baca juga : Potensi dan Permasalahan Pengembangan Candi Borobudur sebagai Wisata Ziarah (3)
Sebagai Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) yang terpilih secara aklamasi sejak 1998, dan terus dipercaya memangku jabatan sampai sekarang.
“Candi Borobudur merupakan salah satu dari peninggalan sejarah kebesaran nenek moyang Indonesia,” kata Siti Hartati Murdaya mengawali pandangannya dalam keterangan tertulis, Selasa (18/05/1999).
Di kesempatan itu, Ketum DPP Walubi juga mengingatkan seluruh anak bangsa, Candi Borobudur merupakan satu dari banyak peninggalan sejarah kebesaran nenek moyang Indonesia yang masih berdiri kokoh sampai sekarang, agar lestari, maka perlu mendapat perhatian yang lebih intens dan serius.
“Candi Borobudur adalah candi Agung Buddha yang terbesar di dunia,” ujar Presiden Direktur (Presdir) PT Hardaya Inti Plantation, kelahiran Jakarta, 29 Agustus 1946 yang juga terkenal sangat dekat dengan kalangan Istana Presiden sejak era Soeharto.
Selain tak bisa dilepaskan dari besarnya pengaruh Siti Hartati Murdaya dalam perkembangan Agama Buddha di Indonesia, dan untuk menguatkan pendapatnya, ia juga menuturkan pemikiran yang ditulis Prof. Dr. JG Casparis atau Johannes Gijsbertus de Casparis yang dikenal sebagai filolog asal negeri Belanda.
Dituturkan istri Murdaya Widyawimarta Poo, salah satu dari karya ilmiah Prof. Dr. JG Casparis secara terang benderang telah menjelaskan, Candi Bhumisam Bharabudhara -pengaruh bahasa Jawa yang kuat menjadikan pengucapan- “Bharabudhara” menjadi “Borobudur”, mulai dibagun pada masa pemerintahan raja Samaratungga, yang ditafsirkan Murdaya sebagai “Bukit Peningkatan Kebajikan”, yaitu setelah melampaui sepuluh tingkat Bodhisattva.
Selepas dibangun selama kurang lebih seratus lima puluh tahun, Candi Borobudur menjadi pusat ziarah megah bagi penganut Buddha sampai dengan runtuhnya kerajaan Mataram sekitar tahun 930 M, di mana pusat kekuasaan dan kebudayaan itu terpaksa berpindah ke Jawa Timur.
Sementara itu, pesona dan keagungan Candi Borobudur, ia juga mengutarakan, tidak hanya mendapatkan pengakuan dari masyarakat Indonesia semata.
Melainkan, juga sudah dianggap sebagai warisan kebudayaan dunia, yang ditunjukkan saat pemugaran Candi Borobudur yang mendapatkan dukungan penuh dari 28 negara yang duduk sebagai anggota “Executive Committee for the International campaign to Safeguard the Temple Borobudur”.
Usai dipugar, Candi Borobudur berhasil menampilkan diri sebagai pusat wisata yang mampu menyerap tingginya kunjungan wisatawan, yaitu kurang lebih 6.333,95 orang/hari pada tahun 1997 dengan 13% wisatawan mancanegara dan sisanya 87% wisatawan nusantara.
Kemegahan, keagungan, keindahan dan keunikan arsitektur Candi Borobudur yang dibalut dengan nilai-nilai penting dari sisi agama, budaya dan sejarah telah menjadi fokus perhatian umat Buddha, baik di Indonesia maupun luar negeri, serta wisatawan pada umumnya untuk datang berkunjung.
Pendiri PT Berca Sportindo, juga memastikan, sejak dulu kala, Candi Borobudur tak terbantahkan menjadi tempat peribadatan umat Buddha, akan tetapi dimensi Buddhis tersebut belum didayagunakan secara maksimal dalam meningkatkan nilai ekonomi dari Candi Borobudur itu sendiri sebagai pusat kunjungan wisatawan.
“Candi Borobudur selama ini berfungsi sebagai tujuan wisata budaya semata-mata. Penggunaan Candi Borobudur sebagai peribadatan Umat Buddha hanya dapat dilakukan pada saat Waisak Nasional saja,” tuturnya.
Mantan Dewan Pertimbangan Presiden (biasa disingkat Wantimpres) ini juga menyayangkan pemanfaatan Candi Borobudur, bila cuma dianggap monumen mati.
Sambungnya, juga tak memiliki nuansa keagamaan Buddha apapun kecuali himpunan batuan patung dan relief Buddha semata.
Sejalan dengan hal tersebut, ia mengapresiasi upaya ISEI Yogyakarta yang melakukan kerja sama dengan Badan Promosi Industri Pariwisata Yogyakarta dan menggandeng Asosiasi Kongres dan Konvensi Indonesia guna mencari masukan tentang bagaimana menggali potensi ekonomi Candi Borobudur.
Berdasarkan penelitian dan dari temuan yang dihimpun itu, Hartati Murdaya menginterprestasikan kajian tersebut mengarahkan agar Candi Borobudur condong kepada wisata ziarah.
Kemudian, ia juga mencatat sejumlah potensi termasuk permasalahan dalam pengembangannya, yang dirangkum PariwisataIndonesia.id berikut ini.
- Potensi Pengembangan Candi Borobudur sebagai Wisata Ziarah dan permasalahannya
- Nasib Candi Borobudur sampai saat ini sebagai monumen mati (Death Monument)
- Candi Borobudur sebagai Candi Buddha adalah suatu kenyataan
- Sumber daya ekonomi bagi Candi Borobudur dimulai dari aktifitas wisata ziarah
- Candi Borobudur di era reformasi
1. Potensi Pengembangan Candi Borobudur sebagai Wisata Ziarah dan permasalahannya
Dalam kerangka pemikiran yang dicetuskan ISEI Yogyakarta, ia mengacungi jempol, katanya penelitian itu seharusnya patut dihargai.
Mengulik masa lalunya, nama aslinya Tjee Lie Ing dan lahir dari keluarga Budha yang taat. Semasa kecilnya, ia rajin membersihkan Wihara dan mencuci baju Bhikhu. Berkat tangan dingin Siti Hartati Murdaya mengelola gurita bisnisnya, pada tahun 2008, Forbes menobatkan sebagai orang terkaya ke-13 di Indonesia.
Seiring dengan yang dicetuskan ISEI Yogyakarta, juga sejalan dengan pandangannya, yaitu wisata ziarah di Candi Borobudur, katanya, penting untuk dipahami semua pihak, sejatinya banyak diperuntukkan sebagai kegiatan kunjungan wisata dengan tujuan pengembangan spiritual keagamaan.
Candi Borobudur adalah monumen Buddhis, dan kegiatan wisata ziarah yang dilakukan oleh umat agama Buddha di Indonesia maupun Umat Buddha sedunia, diakuinya juga sangat bervariasi, meliputi berbagai aspek ritual dan peningkatan moral spiritual Buddhis melalui berbagai kegiatan, antara lain:
- Pembacaan paritta (doa) secara individual maupun kelompok
- Meditasi secara individu maupun kelompok
- Upacara sembahyang
- Konvensi/ rapat/ seminar/ lokakarya Buddhis
- Lainnya.
Kegiatan wisata ziarah tersebut, katanya, juga akan menciptakan banyak lapangan kerja baru. Tak terkecuali, katanya, permintaan terhadap barang dan jasa yang diperlukan secara langsung maupun tidak langsung, juga akan meningkat. (Dini/eh)
Leave a Reply