Tulisan ini merupakan bagian kedua dari pandangan Dra. Siti Hartati Murdaya, yang dikutip PariwisataIndonesia.id melansir laman walubi.or.id, Selasa (18/05/1999), berjudul “Pandangan Umat Buddha di Indonesia terhadap Potensi dan Permasalahan Pengembangan Candi Borobudur sebagai Wisata Ziarah”.
Di sisi lain, sosoknya adalah Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) yang terpilih secara aklamasi sejak 1998 sampai sekarang, dan terus dipercaya memangku jabatan tersebut.
Berikut buah pikiran Siti Hartati Murdaya dari lanjutan artikel sebelumnya, yang dibuat dalam 3-seri sebagai wujud dari sikap nasionalisme dan bentuk kebanggaannya menjadi warga negara Indonesia.
Dirinya merasa terpanggil untuk memberikan pengaruh positif, dengan mengungkapkan rasa keprihatinannya, sudah tentu hal ini terkait Candi Borobudur.
Baca juga : Potensi dan Permasalahan Pengembangan Candi Borobudur sebagai Wisata Ziarah (3)
Sejalan dengan hal tersebut, Ketum DPP Walubi juga mengajak seluruh anak bangsa, bahwa Candi Borobudur merupakan satu dari banyak peninggalan sejarah kebesaran nenek moyang Indonesia yang masih berdiri kokoh sampai sekarang, agar lestari, maka perlu mendapat perhatian lebih intens dan serius.
Menurutnya, difungsikannya Candi Borobudur sebagai pusat wisata ziarah (dharmayatra), di samping sebagai pusat wisata budaya seperti selama ini dikenal sudah cukup potensial.
Selain itu, ia juga merasa perlu, mengimbau semua pihak agar patut pula mencermati hal ini.
“Wisata ziarah merupakan salah satu preferensi calon konsumen (wisatawan) terhadap atribut keagamaan Buddha dari keberadaan Candi Borobudur. Terjadi proses nilai tambah dari wisata ziarah dibandingkan dengan sebelumnya.
Enam dari sepuluh negara anggota ASEAN adalah negara yang penduduknya banyak beragama Buddha, yaitu Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Myanmar, Singapura. Umat Buddha di negara-negara tersebut merupakan calon wisatawan mancanegara yang potensial ke Indonesia, terutama ke candi Borobudur.
Terlebih lagi Umat Buddha di negara- negara Asia lainnya yaitu RRC, Korea, Taiwan, Jepang, Hongkong, Sri Langka, Nepal, dan lain lain. Serta perlu dipertimbangkan pula Umat Buddha di Amerika, Eropah, Australia dan seterusnya, merupakan potensi Wisata Ziarah bagi Candi Agung Borobudur.
Wisata ziarah Buddhis sudah lazim dilakukan dan sangat berhasil di Thailand dan Kamboja. Berbagai vihara yang indah di Thailand serta keagungan candi Angkor di Kamboja telah menarik kedatangan banyak wisatawan mancanegara. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa wisata ziarah akan mendatangkan devisa dalam jumlah cukup berarti.
Kita menyaksikan sejumlah Vihara dan Candi di negara tetangga yang tidak memiliki keistimewaan seperti Candi Borobudur, namun telah berhasil dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan perekonomian rakyat sekitar di mana candi/vihara tersebut berada, juga telah mendatangkan devisa dari wisatawan mancanegara yang tidak sedikit jumlahnya.
Candi Borobudur yang dijadikan monumen mati telah menghilangkan nilai sakral Agama Buddha bagi penduduk dunia yang beragama Buddha, mereka tidak merasa perlu berkunjung ke Indonesia, sehingga para wisatawan yang datang pada umumnya merupakan wisatawan budaya, kalaupun yang berkunjung adalah wisatawan beragama Buddha, mereka tidak bisa melakukan puja bhakti sebagaimana mestinya.
Candi Borobudur dianggap sebagai Cagar Budaya dan monumen mati, sehingga para pengunjung tidak memperdulikan lagi kondisi kebersihan Candi seperti yang kita saksikan di mana pengunjung membawa makanan dan minuman serta membuang sampah yang tersebar di mana-mana, juga mereka mendudukan anak kecil dipundak Arca Buddha sambil berfoto serta memperlakukan tempat suci tersebut sebagai tempat piknik dan merusak baik suasana spiritual maupun nilai moral yang bertentangan dengan keagungan Candi Borobudur itu sendiri.
Candi Borobudur yang seharusnya memiliki daya tarik sangat besar bagi kunjungan Wisata Ziarah sedunia, telah gagal memberikan kesejahteraan bagi peningkatan perekonomian rakyat kecil sekitar Candi tersebut. Apalagi yang berhubungan dengan pemasukan devisa bagi negara. Kita saksikan negara tetangga yang memiliki objek wisata ziarah walaupun tidak sebagus Candi Borobudur, namun telah mengatur tata kunjungan wisatawan dengan sedemikian rupa, sampai ada peraturan menghukum pengunjung yang berperilaku tidak sesuai dengan moral dan etika yang seharusnya, telah berhasil menikmati kemajuan pemasukan devisa serta memberikan kemajuan bagi perekonomian rakyat sekitarnya secara optimal,” kata Siti Hartati Murdaya, dikutip PariwisataIndonesia.id melansir keterangan tertulisnya, Selasa (18/05/1999).
2. Nasib Candi Borobudur sampai saat ini sebagai monumen mati (Death Monument)
Sejak kemerdekaan negara Republik Indonesia, Pemerintah RI semula belum membentuk Departemen yang khusus mengurusi pariwisata secara sungguh sungguh.
Tak ayal semua candi yang merupakan aset negara dianggap sebagai barang budaya, sehingga keberadaannya dimasukkan ke dalam wewenang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang digolongkan ke dalam benda purbakala yang dinyatakan sebagai monumen mati.
Padahal, candi-candi itu memiliki nilai agama. Merespons hal tersebut, dia menilai, aset negara tersebut mestinya digali lebih dalam sumberdaya ekonominya agar tidak mubazir.
“Khususnya pada saat ini di mana terjadi krisis ekonomi dan krisis di berbagai bidang Pemerintah lupa bahwa antara lain Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia dapat mendatangkan devisa yang tidak sedikit jumlahnya bagi negara tanpa harus menunggu perbaikan jaringan ekonomi, baik sektor perbankan, perindustrian, perdagangan, maupun sektor sektor lainnya,” sarannya.
Setelah negara ini memiliki Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya, maka keberadaan Candi Borobudur dan candi-candi agama lain di dalam wewenang Departemen Pendidikan harusnya, ini sudah tidak tepat lagi.
Apalagi bila Candi Agung Borobudur masih dikendalikan oleh sejumlah pakar budaya yang tidak memiliki wawasan komersial serta tidak memanfaatkan nilai sakral keagamaan sebagai nilai tambah yang sangat kuat potensinya dalam menarik wisatawan mancanegara. (Dini/eh)
Leave a Reply