Soal IKN, Akademisi Peringati Pemerintah Indonesia Belum Punya Pengalaman Bangun Kota & Jadi Tantangan Besar

PARIWISATAINDONESIA.ID – Akademisi Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Prof Sulfikar Amir mengingatkan bahwa Indonesia belum memiliki pengalaman dalam membangun sebuah kota dari tanah kosong.

Oleh karena itu, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur merupakan tantangan besar sehingga perlu ketelitian.

Hal tersebut dikatakan Sulfikar saat diskusi virtual Kosadata bertajuk ‘Merancang IKN jadi Smart Forest City’ pada Kamis (3/3/2022).

“Selama Indonesia merdeka, kita belum pernah punya pengalaman membangun sebuah kota yang benar-benar from scratch atau dari awal. Dari tanah kosong, lalu kemudian membangun sebuah perkotaan yang begitu kompleks yang kemudian bisa berkembang menjadi suatu sistem urban yang dinamis dan berkelanjutan,” kata Sulfikar.

Menurutnya, pembangunan IKN Nusantara merupakan proyek berskala besar dan bernilai mahal, sehingga memiliki tingkat risiko kegagalan yang tinggi.

Dia lalu menyinggung sebuah buku berjudul Seeing Like A State, karya Prof James Scott, seorang antropolog dan sosiolog dari Yale University.

Dalam buku itu, kata dia, Prof James memberikan gambaran mengenai sejumlah proyek berskala besar yang akhirnya gagal karena beberapa faktor. Salah satunya adalah visi para pemimpin atau elit politik yang ketika keinginannya ingin diwujudkan, justru tidak sesuai dengan realita yang ada di masyarakat.

“Jadi ada semacam penyederhanaan realitas sosial politik dan ketika visi itu diwujudkan akhirnya bersifat kontradiktif,” ujarnya.

Prof Sulfikar mengungkapkan, hal-hal seperti itu harus dipelajari secara saksama dan bijaksana oleh pemerintah. Apalagi ketika pemerintah tengah melakukan upaya pembangunan dengan skala besar yang melibatkan duit banyak dan dilakukan dengan jangka panjang.

“Karena itu kita harus hati-hati dan banyak hal yang bisa kita pelajari, tidak hanya dari apa yang pernah kita lakukan tapi apa yang dilakukan negara-negara lain. Kita harus bisa objektif untuk melihat permasalahan-permasalahan, tanpa harus mencoba menutupi persoalan itu, karena mungkin kita memang pernah mau terbuka untuk menyatakan bahwa proyek yang dikerjakan itu belum dilakukan dengan baik,” jelasnya.

Dia memandang, pemindahan IKN dari Jakarta ke Kaltim juga tidak akan menyelesaikan persoalan yang ada di Jakarta. Justru, lanjut dia, keputusan ini akan meninggalkan permasalahan besar, karena pemerintah lebih fokus pada IKN baru.

Adapun akar persoalan yang ada di Jakarta selama ini adalah kemacetan lalu lintas, ancaman banjir hingga kepadatan penduduk. Meski pemerintahan pusat berada di Provinsi Jakarta, namun kontribusinya dianggap masih rendah.

“Kalau kita lihat misalnya kontribusi dari gedung-gedung dan segala aktivitas pemerintahan nasional di Jakarta itu terhadap permasalahan urban di Jakarta di bawah 10 persen. Kontribusi terhadap banjir, kontribusi terhadap kemacetan dan sebagainya,” terangnya.

Oleh karena itu, kata dia, memindahkan Ibu Kota dari Jakarta, tidak serta merta akan menyelesaikan masalah di Jakarta.

“Justru akan meninggalkan permasalahan besar karena ketika kita tahu Jakarta belum selesai lalu kemudian Ibu Kota dipindah dan akhirnya kita tidak pernah menyelesaikan masalah secara lebih matang,” imbuhnya.

Dalam kesempatan itu, Prof Sulfikar juga menyayangkan rencana pemindahan IKN yang masih menggunakan intuisi atau gagasan yang berdasarkan naluri, tanpa melibatkan pikiran atau pertimbangan yang logis.

Dia menilai, tidak ada rasionalitas terukur yang dipakai pemerintah untuk memindahkan IKN.

“Rasionalitas dari pemindahan IKN itu masih bersifat intuitif, sayang sekali. Jadi, tidak ada rasionalitas terukur yang dipakai oleh pemerintah untuk mengatakan, ‘Oke Ibu Kota Negara kita pindahkan ke Kalimantan Timur karena alasan ini dan itu’. Kemudian ada bukti empirisnya, ada kajian-kajian teoritis dan analitiknya sehingga semua orang setuju,” tukasnya. (Ben)