Jika mendengar kata Banten, Sobat Pariwisata mungkin akan teringat pada Suku Baduy. Salah satu suku yang mendiami Provinsi Banten dan masih menjaga kearifan lokalnya hingga hari ini. Suku Baduy terbagi menjadi dua, yaitu Suku Baduy Luar yang cukup terbuka pada perkembangan budaya luar serta Suku Baduy Dalam yang menutup diri dari perkembangan budaya luar.
Cara Suku Baduy menjaga kearifan lokal mereka dapat kita lihat dari rumah tradisional Suku Baduy. Tidak seperti rumah tradisional lain yang semakin sulit ditemukan, Rumah Sulah Nyanda masih bisa Sobat Pariwisata temukan dengan mudah. Penamaan Sulah Nyanda ini berdasarkan bentuk salah satu atap yang lebih panjang dari sisi lainnya dan berada dalam posisi lebih rendah, seperti seseorang yang bersandar (nyanda), berbaring setengah duduk. Rumah ini dibangun dengan sistem klaster, di mana rumah-rumah warga terkumpul di satu area tertentu.
Seperti rumah tradisional lainnya, Rumah Sulah Nyanda ini dibangun dengan material yang didapatkan dari alam. Pembangunannya pun tidak boleh sembarangan, harus melalui izin dari kepala adat. Rumah ini juga harus dibangun menghadap Utara- Selatan. Suku Baduy percaya arah inilah yang terbaik untuk rumah mereka. Pembangunan rumah tradisional ini dilakukan dengan cara gotong royong. Ada yang menyumbangkan bahan bangunan, komponen rumah, maupun tenaga. Semua dilakukan tanpa pamrih. Hal ini mencerminkan tradisi persatuan warga Suku Baduy.
Rumah Sulah Nyanda termasuk ke dalam jenis rumah knock down (bisa dibongkar pasang) dan siap pasang. Karena hanya tinggal memasang, rumah tradisional ini bisa dibangun hanya dalam waktu satu hari saja. Satu hal yang paling penting dalam pembangunan rumah tradisional ini adalah penggunaan bahan atau material yang secukupnya, tidak berlebihan. Hal itu dilakukan demi menjaga keberlangsungan alam.
Uniknya, untuk membangun rumah, Suku Baduy tidak meratakan tanah. Mereka percaya bahwa bentuk alam tidak boleh diubah-ubah. Manusia lah yang harus mengikuti kondisi alam. Karena hal ini, Sobat Pariwisata jangan heran ketika mendapati tiang rumah Suku Baduy tidak sama panjang. Sisi satu dan sisi yang lain bisa saja berbeda tergantung kondisi permukaan tanah.
Rumah Sulah Nyanda berbentuk rumah panggung, sehingga lantai tidak langsung menempel pada tanah. Di bagian pondasi, Suku Baduy meletakkan batu kali sebagai penahan tiang rumah. Hal ini selain untuk menghindari tiang dari rayap, juga untuk menghindari tiang dari genangan air. Batu kali juga diletakkan di sekitar tepi bagian bawah rumah, membentuk benteng yang berfungsi untuk menahan erosi yang bisa membuat tanah amblas dan rumah rubuh.
Dinding Rumah Sulah Nyanda menggunakan bilah bambu seukuran ibu jari yang telah dikeringkan dan dianyam vertikal dengan teknik yang disebut sarigsig. Sedangkan untuk atapnya, menggunakan ijuk atau daun kelapa yang telah dikeringkan. Keunikan lain rumah ini yaitu rumah dibangun tanpa menggunakan paku, loh. Untuk menyambung kayu satu dan lain digunakan pasak. Selain itu, untuk menyambungkan bagian-bagian lain seperti dinding, atap, dan lantai, digunakan tali atau dijebit pada bilah bambu.
Rumah Sulah Nyanda memiliki tiga buah pintu yang berda di depan, di samping, dan di belakang. Uniknya lagi, ukuran lebar pintu ini disebut sanyiru asup, yaitu selebar alat untuk menampi beras. Suku Baduy memang tidak menggunakan perhitungan modern dalam pengukuran rumah. Selain itu, terdapat beberapa lubang di bagian lantai sebagai sirkulasi udara. Meskipun dibangun tanpa jendela, rumah ini tetap terasa adem, loh.
Seperti rumah pada umumnya, Rumah Sulah Nyanda juga memiliki bagian-bagian khusus. Pertama adalah sosoro, yaitu bagian yang menyerupai beranda atau teras. Di bagian inilah para tamu dijamu. sosoro juga digunakan oleh anak-anak perempuan untuk menenun. Bagian kedua adalah tepas, yaitu bagian rumah yang digunakan untuk tempat makan dan anak-anak tidur. Antara sosoro dan tepas dibuat tanpa pembatas dan berbentuk huruf L atau siku.
Bagian terakhir disebut imah. Di bagian ini terdapat dapur juga tempat untuk menyimpan bahan makanan. Imah juga kerap digunakan sebagai tempat kepala keluarga tidur. Hal unik yang terdapat di dapur ini adalah tungku (kompor tradisional) yang bagian bawahnya dilapisi tanah liat. Hal ini dilakukan agar tungku tidak langsung menyentuh lantai yang terbuat dari kayu, sehingga kebakaran bisa dihindari.
Sobat Pariwisata! Dari Suku Baduy kita bisa belajar bagaimana manusia, sebagai mahluk yang diberi kecerdasan, harus bisa hidup selaras dengan alam. Alam bukanlah warisan nenek moyang, melainkan titipan anak-cucu kita. Yuk, gunakan kekayaan alam dengan bijak!(Nita)
Leave a Reply