Mudik atau pulang kampung menjadi salah satu momen berharga bagi perantau dan keluarga yang ditinggalkan. Bagi beberapa masyarakat Indonesia, momen ini disambut dengan suka cita, seperti menghidangkan berbagai masakan. Di Papua Barat, momen pulang kampung juga mendapat sambutan hangat dari pihak keluarga dengan pelaksanaan tradisi Mansorandak.
Mansorandak berasal dari Bahasa Biak yang berarti injak piring. Tradisi ini telah dilaksanakan turun menurun oleh Suku Doreri, Manokwari, Papua Barat. Mansorandak dilakukan untuk menyambut kepulangan sanak keluarga yang merantau di tempat yang jauh dengan waktu lama, sebagai ungkapan syukur pihak keluarga atas keselamatan setelah melalui perjalanan jauh.
Selain ungkapan syukur, Mansorandak merupakan salah satu usaha pembersihan sang perantau. Pelaksanaan tradisi ini diyakini dapat mengusir roh-roh jahat yang mengikuti sang perantau dari tempat perantauannya atau saat berada di perjalanan, sehingga roh-roh tersebut pergi dan tidak mengganggu di tanah kelahiran.
Beberapa perlengkapan utama yang diibutuhkan dalam tradisi Mansorandak yaitu sembilan buah sera-sera (piring adat dengan diameter yang lebar), piring berisi air dan kembang, serta replika buaya yang terbuat dari pasir. Dalam perkembangannya, perlengkapan ini tidak harus tersedia secara utuh. Beberapa masyarakat hanya menyiapkan sera-sera dan air kembang, bahkan ada pula yang hanya menggunakan sebuah sera-sera.
Sera-sera yang telah disiapkan dijejerkan bersama dengan replika buaya. Ditemani pihak keluarga, sang perantau mengelilingi sera-sera selama sembilan putaran. Angka sembilan merupakan lambang dari jumlah marga Suku Doreri.
Sebelum pelaksanaan putaran, sang perantau akan dibasuh dengan air kembang. Namun, ada pula yang melakukannya selama putaran berlangsung, yaitu memercikkan air ke tubuh perantau setiap satu putaran. Membasuh atau memercikkan air diyakini sebagai upaya untuk membersihkan diri sang perantau.
Setelah melaksanakan putaran, sang perantau pun diminta untuk menginjak replika buaya hingga hancur. Hal ini menjadi simbol bahwa sang perantau telah berhasil menaklukan tantangan, penderitaan, dan cobaan hidup selama berada di tanah rantau.
Ritual Mansorandak ditutup dengan kegiatan makan bersama. Sebelumnya, menu yang terdiri dari ketupat, daging, ikan, sirih, pinang, dan lainnya, digantung di dekat tempat pelaksanaan Mansorandak. Setelah mendapat aba-aba dari sesepuh, para hadirin pun mengambil hidangan tersebut untuk dimakan bersama.
Seiring perkembangan zaman, tradisi Mansorandak tidak hanya dilaksanakan terbatas pada pihak keluarga yang pulang merantau. Tradisi ini juga dilakukan untuk menyambut tamu kehormatan yang datang, dari anak menantu, pejabat pemerintahan, hingga wisatawan.
Khusus bagi para pejabat yang berkunjung ke Manokwari, perlengkapan ritual Mansorandak ditambah dengan replika kura-kura pasir yang juga harus dihancurkan. Replika ini menjadi lambang sekaligus doa agar orang tersebut dapat menaklukan tantangan dan rintangan dalam perjalanan kembali ke tanah asal nantinya.
Sobat Pariwisata! Tradisi Suku Doreri ini memang sangat unik dan penuh nilai kekeluargaan. Pada tahun 2017, tradisi Mansorandak ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda dari Provinsi Papua Barat.(Nita)
Leave a Reply