Gendang menjadi salah satu alat musik tradisional Indonesia yang banyak di jumpai di berbagai wilayah, termasuk Indonesia Timur. Namun, gendang yang bernama Tifa ini memiliki keunikan tersendiri dibanding gendang-gendang yang lain. Penasaran? Yuk, simak ulasannya berikut.
Tifa merupakan alat musik tradisional yang bisa dijumpai di Provinsi Maluku dan Papua. Alat musik pukul ini memiliki nama-nama yang berbeda, seperti tahito atau tihal di Maluku Tengah, titir di Pulau Aru, kandar di Malin Anim, sirep atau sandio di Biak, wachu di Sentani, kalin kla di Timenabuan, serta eme di Asmat.
Tifa merupakan alat musik asli masyarakat Indonesia Timur yang tidak memiliki pengaruh dari bangsa luar. Umumnya, Tifa memiliki bentuk seperti permen. Meskipun memiliki bentuk yang sama, tifa Maluku dan Papua memiliki perbedaan. Tifa Papua dilengkapi dengan tali penggenggam di bagian samping, sedangkan tifa Maluku tidak memiliki tali.
Di Papua, khususnya Biak, sebuah legenda tentang kakak-beradik diyakini menjadi asal muasal tifa. Dikisahkan dua laki-laki bersaudara bernama Fraimun dan Sarenbeyar meninggalkan desa mereka, Maryendi, karena banjir besar yang membuat desa itu tenggelam. Mereka berdua pun bertualang hingga ke daerah Wampember, Biak Utara. Keduanya pun menemukan pohon opsur, pohon yang bisa mengeluarkan suara.
Penasaran pada pohon tersebut, kedua kakak-beradik itupun menebangnya. Mereka lalu melubangi bagian dalam pohon menggunakan nibong (besi panjang yang ujungnya tajam). Saat akan menutup lubang di salah satu ujung, mereka sempat berpikir untuk mengambil kulit paha sang kakak. Namun, karena membayangkan rasa sakit yang akan diderita, keduanya pun memutuskan untuk menggunakan kulit soa-soa.
Tifa berasal dari batang pohon lenggua, kayu asli Papua yang terkenal berkualitas baik, tebal, dan kuat. Bagian dalam batang dilubangi. Salah satu sisi batang tersebut ditutup dengan kulit biawak, soa-soa, atau rusa. Kulit binatang ini harus dikeringkan terlebih dahulu, kemudian dipanaskan agar melar. Selanjutnya, sebagai pengikat digunakan rotan yang dililit melingkar.
Kualitas suara yang dihasilkan oleh tifa bergantung dari tingkat kekeringan kulit hewan dan ikatan rotan. Semakin kering kulit hewan yang digunakan, maka semakin indah suara yang dihasilkan.
Untuk menambah keindahan, biasanya bagian badan tifa ditorehkan ukiran khas. Ukiran ini memiliki makna tersendiri, seperti menujukan status sosial pemiliknya (kepala suku atau masyarakat biasa) serta cerita tentang kehidupan dan rasa syukur pemiliknya.
Tifa memiliki berbagai jenis, yaitu Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong, dan Tifa Bass. Kelima jenis Tifa ini akan menghasilkan warna suara yang berbeda-beda. Penggabungan keduanya akan menghasilkan harmonisasi nada merdu. Namun, sebelum dimainkan secara bersamaan, perlu dilakukan penyesuaian bunyi dan irama.
Hingga saat ini, tifa masih dipergunakan masyarakat lokal untuk mengiring nyanyian dan tari tradisional, seperti Tari Cakalele, Tari Lenso, atau Tari Gatsi. Tifa juga kerap dibawakan dalam pertunjukan seni, penyambutan tamu, acara-acara adat, serta promosi pariwisata. Biasanya, tifa dimainkan bersama alat-alat musik tradisional lainnya, seperti totobuang.
Sobat Pariwisata, Tifa yang mempesona telah menjadi identitas budaya masyarakat Indonesia Timur. Pada tahun 2013, Tifa ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Bersama dari Provinsi Maluku dan Papua.
Leave a Reply