PariwisataIndonesia.ID – Pulau Kemaro yang terletak di Kelurahan Sungai Selayur, Kecamatan Kalidoni, Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), dikenal sebagai tempat wisata religi.
Hal tersebut, ditandai dengan setiap tahunnya terdapat puluhan ribu warga Tionghoa yang datang untuk menggelar perayaan Cap Go Meh di tempat ini.
Keberadaan Pulau Kemaro sendiri, juga tak lepas dari legenda yang menyertainya, yaitu percintaan Siti Fatimah dan Tan Bun Ann.
Baca juga : Pariwisata Indonesia: Mengenal Tempat Wisata Sejarah di Palembang, Pulau Kemaro Wajib Dikunjungi Sob!
Secuil Sejarah Singkat Venesia dari Timur
Sejarah mencatat, kota yang populer dengan ikon Jembatan Ampera dan beragam kuliner khasnya, seperti pempek atau empek-empek dan pindang patin adalah dua makanan favorit yang memiliki cita rasa istimewa ini juga tak lepas dari warisan kegemilangan Sriwijaya di masa lampau.
Masa keemasan kerajaan Sriwijaya juga digambarkan mendetail dalam historiografi Barat abad ke-19, bahwa kehidupan masyarakat di tepi Sungai Musi tak bisa ditepis ikut menjadi magnet hegemoni barat kala itu.
Pasalnya di abad tersebut, sistem pertahanan Palembang memang diatur sedemikan rupa di mana semua lalu lintas sungai benar-benar diperkuat. Kisah itu ditulis oleh seorang seniman asal Belanda Johan Nieuhof (1618-1672) yang menceritakan kekuatan pertahanan Kesultanan Palembang.
Baca juga : Kisah Cinta di Pulau Kemaro
Dia juga menyampaikan, jalur itu bahkan dibentengi oleh banyaknya batang pohon besar yang dirapatkan, dan berbagai meriam besar turut ditempatkan di sekitarnya. Sehingga mustahil kota ini bisa diambil alih hanya dengan menggunakan pasukan kecil, ditambah lagi dengan adanya parit yang ke dalamnya berlumpur.
“Kami kesulitan mencari tempat mendarat, hingga akhirnya laksamana kami melihat ada anak sungai di balik titik terjauh benteng pertahanan tersebut,” ditulis dalam buku Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid, dikutip PariwisataIndonesia.ID untuk mengisahkan hegemoni Barat saat mencengkram ibu kota Sriwijaya.
Kota tertua di Indonesia ini, bila berdasarkan prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Kedudukan Bukit, yang berangka tahun 16 Juni 682, menyebut berumur setidaknya 1337 tahun. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikanlah Wanua (atau wilayah permukiman) di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang.
Melansir dari buku berjudul “Sejarah Nasional Indonesia”, karangan Marwati Djoened Pusponegoro, Nugroho Notosusanto, 1930-1985, juga merinci lengkap tentang hal tersebut.
Di dunia perdagangan, Sriwijaya juga dikenal sebagai daerah maritim yang sukses memonopoli jalur lalu lintas perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India, terbukti dari puncak kejayaannya dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda yang terjadi antara tahun 670 hingga 1025 M.
Tak hanya itu, beragam komentar Orang Arab di zaman itu, Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuatnya maju pesat, dan raja Sriwijaya disebutkan sekaya raja-raja di India.
Kekayaan yang melimpah ini, memungkinkan Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan di wilatah tersebut dan mampu membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara, yang kehadirannya diharapkan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi, jika perlu, menggempur bandar pelabuhan pesaingnya.
Lantaran hal itu pula, Sriwijaya kerap menggelar ekspedisi militer di kawasan sekitarnya guna menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya.
“Dengan adanya sistem pertahanan yang tangguh membuat Kesultanan Palembang sulit untuk dikuasai musuh,” tulis Rizky Ariyanto dalam artikel Peranan Sultan Mahmud Badaruddin II dalam Perang Palembang 1819-1821.
Tak sedikit sejarawan yang juga mengungkapkan, kekaguman orang Barat atas keindahan ibu kota Palembang yang didominasi oleh ruang air dengan lebih dari 100 sungai dan anak sungai mengalir dalam kota ini.
Sehingga, dari latar belakang kebudayaan sungai itu, menjadi dasar orientasi kehidupan masyarakat di sana, dan Kota Palembang di zaman tersebut, tak ayal dicitrakan sangat kosmopolitan.
Bahkan, pemadangan atau keadaan Kota Palembang di zaman itu, dianggap menyerupai Kota Venisia di Italia. Sayangnya, deretan bangunan ditepi sungai saat sekarang kian hari makin kurang terawat, berbeda dengan Venesia yang tetap tertata rapi dan bertahan sebagai objek wisata hingga hari ini.
Romantisme yang bermuara pada pembangunan atau pembentukan citra simbolik atas ibu kota Palembang, sampai-sampai diberi julukan “Venesia dari Timur”. Namun, simbol itu runtuh akibat industrialisasi yang masif oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pulau Kemaro Palembang Cocok Jadi Kawasan Pariwisata Terpadu
Berdasarkan rekam sejarah di atas, sangat pantas bila Pulau Kemaro dijadikan sebagai kawasan pariwisata terpadu yang dipautkan dengan berbagai wisata lainnya yang dikemas dalam satu kesatuan.
Seiring dengan hal itu, maka dibutuhkan keseriusan pemerintah setempat yang didorong untuk kembali mewujudkan julukan kota semulanya, “Venice Of The East”, dan kesempatan ini bukan hal yang tidak mungkin!
Dari hasil pembangunannya itu, diharapkan mampu menyerap lapangan kerja seluas-luasnya, yang akhirnya turut menguatkan rantai ekonomi di wilayah tersebut, seperti hotel, bungalow, kuliner dan produk kerajinan UMKM-nya akan pula bertumbuh dengan sendirinya.
Malah, dengan menjadikan transportasi sungai menuju Pulau Kemaro tetap menggunakan ketek, speedBoat, dan kapal, yang di sela-sela itu sambil pula mengunjungi Sentra Kain Tuan Kentang, termasuk pesona Kampung Kapitan dan Al-Munawar.
Kemudian, dilakukan juga penataan kembali kawasan wisata Pulau Kemaro menjadi lebih baik. Selanjutnya, dipadupadankan lagi dengan menggelar berbagai festival dan atraksi keseniaan dan kebudayaan yang didukung wisata edukasi dan sejarah di Benteng Kuto Besak Palembang.
Semoga hal ini akan mendorong keberlanjutan hidup masyarakat yang tinggal di tepi Sungai Musi, sudah pasti ikut bertanggung jawab dalam merawat, dan menjaga kebersihan di sepanjang aliran sungai tersebut karena hal itu, juga terkait mata pencaharian hidup mereka dengan terbangunnya sistem ekonomi yang saling bertumpang satu sama lain. (Eny)
Leave a Reply