Kekeluargaan dan persaudaraan merupakan hal penting yang tidak bisa lepas dari kodrat manusia sebagai mahluk sosial. Konflik sederhana, seyogyanya tidak layak untuk mengoyak-oyak ikatan tersebut. Hal itulah yang dipelajari oleh suku-suku Arfak yang tinggal di daerah Manokwari.
Baca Juga : Raja Ampat Zona Kuning [Bacaan-17]
Baca Juga : Raja Ampat Zona Hijau [Bacaan-17]
Di masyarakat Arfak, terdapat legenda populer tentang Jambu Mandatjan. Pada masa lalu, dua suku yang berbeda tinggal bersama dalam damai. Hingga satu ketika, anak-anak dari kedua suku tersebut memperebutkan kepemilikian sebuah pohon jambu.
Salah satu anak mengatakan bahwa pohon jambu tersebut adalah miliknya. Tidak terima dengan pernyataan tersebut, anak dari suku yang lain mendebatnya.
Perdebatan tersebut mencapai puncak ketika salah seorang di antara mereka melepaskan anak panah ke arah pohon jambu dengan maksud menakut-nakuti anak yang lain. Anak panah itu pun mengenai seekor burung, Sayangnya, alih-alih menghasilkan rasa takut, perbuatannya malah mengundang cela dari pihak lain.
Konflik keduanya semakin memanas. Hingga akhirnya orang tua dan keluarga dari kedua belah pihak pun ikut serta ke dalam konflik yang dipicu hal sederhana tadi. Kondisi tidak nyaman dan hubungan yang tidak harmonis tercipta. Kedua belah pihak pun memutuskan untuk berpisah.
Baca Juga : 5 Destinasi Wisata Manokwari, Jadi Pengin Kemari
Kelompok yang pertama pergi ke arah timur laut menuju daerah Minyambouw dan menurunkan masyarakat Arfak berbahasa Hattam, yang kemudian menyebar ke pegunungan Arfak (Hingk, Awibehel, Baganpei, dan Pinibut).
Sedangkan kelompok kedua pergi ke arah selatan menuju daerah Anggi dan menurunkan masyarakat yang berbahasa Sough. Kelompok ini kemudian menyebar ke Dataran Isim, Beimes, Chatubouw, Sururey, Kota Ransiki, dan Kabupaten Teluk Bintuni.
Sekian lama berpisah, suku-suku tersebut merasakan kerinduaan pada suasana masa lalu dimana mereka hidup berdampingan dan saling gotong royong. Ada keinginan untuk berdamai dan kembali merajut ikatan persaudaraan yang pernah terputus.
Niat itu pun diwujudkan dalam pesta makan yang dinamakan cintakuek. Dalam perjamuan tersebut disajikan yenga, makanan khas yang menjadi ciri kebersamaan di masa lalu.
Rasa syukur dan suka cita tak terbendung, membuat para tamu yang hadir melakukan sebuah gerakan melompat-lompat sederhana. Gerakan inilah yang menjadi asal mula Tari Tumbu Tanah.
Baca Juga : 3 Camilan Ekstrem Papua Penuh Nutrisi, Berani Coba?
Tari Tumbu Tanah merupakan sebutan yang diberikan oleh Caral Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler, misionaris asal Jerman. Penamaan ini dilakukan agar tari tersebut memiliki satu nama yang sama dan memudahkan pengenalan pada masyarakat luar.
Sebelumnya, empat sub suku Arfak yang tinggal di Manokwari, memiliki nama yang berbeda-beda untuk tarian ini. Suku Hattam menyebutnya Ibihim, Suku Moile menyebutnya Isim, Suku Meyakh menyebutnya Mugka, sedangkan Suku Sough menyebutnya Manyohora.
Tari Tumbu Tanah memiliki dua gerakan dasar, yaitu bihim ifiri kai cut dan yam. Bihim ifiri kai cut adalah gerakan melompat-lompat sambil menghentakan kaki di tanah.
Gerakan ini diadopsi dari gerakan kuskus dan namdur (burung pintar), karena dianggap mudah untuk dilakukan. Sedangkan yam adalah gerakan saling bergandengan tangan, dengan cara memasukkan tangan melewati bagian siku penari lain.
Terdapat tiga bentuk formasi dalam menarikan Tumbu Tanah, yaitu formasi jey/srem (memanjang), formasi ikrop (setengah lingkaran), dan formasi nimot (lingkaran penuh). Ketiga formasi ini terinspirasi dari wow (ular), salah satu hewan yang dianggap sakral oleh masyarakat Arfak.
Tari Tumbu Tanah menggabungkan antara gerakan dan olah vokal. Selama pertunjukan tari, dinyanyikan tiga jenis lagu, yaitu diun (pujian pada roh nenek moyang serta sejarah masa lampau), nihet duwei (syair situasional, tergantung pada tujuan pelaksanaan Tari Tumbu Tanah), serta isiap (teriakan para penari sebagi penyemangat).
Biasanya, dalam satu pertunjukan tari dibawakan 7-10 lagu dengan durasi masing-masing lagu sekitar 3-5 menit. Untuk mensiasati agar para penari tidak kelelahan, gerakan melompat akan mulai dilakukan pada pertengahan lagu. Setelah satu lagu berakhir, para penari akan beristirahat untuk memulihkan tenaga, sebelum beralih ke lagu selanjutnya.
Selain lagu, Tari Tumbu Tanah juga diiringi oleh beberapa alat musik tradisional, seperti keucoawa (sejenis suling), pikon (alat music yang dimasukan dalam mulut), serta triton/ funa (kulit kerang laut/ bia).
Jumlah penari Tumbu Tanah tidak dibatasi, bisa berjumlah sepuluh bahkan hingga satu kampung. Para penari menggunakan kostum dan aksesoris khas Papua. Penari wanita mengenakan sre-a (kain panjang untuk menutupi dada hingga ke bawah), mieya (kalung dari manik-manik), lia (gelang), ayoba (hiasan kepala dari bulu burung kasuari dan ayam hutan), dan minya/ noken (tas tradisional Papua).
Sedangkan para penari pria mengenakan maya (cawat tradisional), miep (hiasan dada yang terbuat dari manik-manik), nakwai (kalung dari taring babi) atau nsien (kalung dari taring anjing), lia (gelang), ayoba, ampiaba (busur) dan tebor (anak panah), serta hamboya (parang).
Tari Tumbu Tanah telah menjadi salah satu identitas budaya masyarakat Papua Barat. Tari ini pun kerap ditampilkan di berbagai acara, seperti penyambutan tamu, perayaan pesta pernikahan, hingga festival budaya. Bahkan, Tari Tumbu Tanah beberapa kali ditampilkan dalam gelaran internasional.
Pada tahun 2016, Tari Tumbu Tanah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Provinsi Papua Barat. (Nita)
Leave a Reply