Tari Kejei
Tari Kejei

Tari Kejei, Tarian Sakral dari Bengkulu

Tahun 2017, Tari Kejei ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Provinsi Bengkulu. Mau tahu? Berikut ulasan lengkapnya.

Tahun 2017, Tari Kejei ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Provinsi Bengkulu. Mau tahu? Berikut ulasan lengkapnya.

PariwisataIndonesia.id – Sobat Pariwisata, Bengkulu merupakan provinsi yang kaya akan kesenian, budaya, dan tradisi. Hasil karya ini banyak yang telah berusia hingga ratusan tahun. Meskipun telah berusia ratusan tahun, banyak yang masih dipertahankan hingga hari ini. Salah satunya adalah Tari Kejei dari suku Rejang, Bengkulu.

Kejei berasal dari bahasa Rejang yang berarti perayaan besar. Tari ini menjadi salah satu rangkaian dalam upacara Kejei. Seperti namanya, upacara Kejei adalah hajatan terbesar suku Rejang yang bisa berlangsung selama 15 hari, 1 bulan, bahkan hingga 9 bulan.

Baca juga :  Simbol Patriotik Masyarakat Bengkulu

Upacara ini biasanya hanya diselenggarakan oleh orang-orang yang mampu karena mereka diwajibkan menyembelih beberapa ekor kerbau, sapi, atau kambing sebagai syarat sahnya.

Selain sebagai rangkaian upacara Kejei, tari ini juga menjadi sarana perkenalan atau ajang mencari jodoh bagi muda dan mudi suku Rejang.

Baca juga :  Tari Lanan Balek dari Bengkulu

Tari ini juga merupakan simbol rasa syukur kepada Tuhan dan para leluhur yang telah memberikan rejeki berlimpah serta kerukunan hidup dalam masyarakat.

Pada zaman dahulu, Tari Kejei diiringi dengan alat musik tradisional dari bambu, seperti bilah bambu yang disusun menyerupai kulintang, bambu betung sebagai gong, serta bambu khusus yang dibentuk menjadi serdam (alat musik tiup).

Baca juga :  Rejang Lebong, Pakaian Adat dari Provinsi Bengkulu

Sejak masuknya pengaruh Majapahit ke Rejang, alat musik dari bambu pun beralih menjadi logam, seperti gong, kulintang, dan suling.

Meski tidak ada catatan pasti kapan Tari Kejei pertama kali diciptakan, tapi tari ini diduga telah ada sejak abad ke-13.

Baca juga :  Tempoyak Kuliner khas Bengkulu

Tari Kejei dilaporkan dalam catatan Hassanuddin Al Pasee, seorang pedagang Pasee yang datang untuk berniaga ke Bengkulu pada tahun 1468. Dalam sumber lain, keterangan tersebut didapat dari Fhatahilla Al Pasee yang datang ke Rejang pada tahun 1532.

Tari Kejei dibawakan oleh penari yang berpasang-pasangan. Jumlah pasangan ini harus ganjil, misalnya 3, 5, 7, atau 9 pasangan. Menurut kepercayaan masyarakat, jumlah ganjil tersebut akan digenapi oleh arwah nenek moyang. Seluruh penari juga harus masih perawan atau perjaka. Jika tidak, konon alat musik yang digunakan akan pecah.

Baca juga :  Lima Lokasi Wisata Favorit di Bengkulu

Penari laki-laki Tari Kejei mengenakan baju jas belango warna hitam, celana panjang hitam, cek’ulew (penutup kepala), selempang kanan ke kiri, songket, dan keris. Sementara penari perempuan mengenakan baju kurung beludru warna merah bertabur logam kuning emas, selendang dengan motif pucuk rebung, songket, serta aksesoris seperti suntiang goyang, gelang, dan burung-burung.

Pelaksanaan Tari Kejei dimulai dengan ritual temu’un gung klintan, yaitu ritual sebelum penggunaan alat musik. Selanjutnya, dilakukan ritual jampi limau untuk memohonkan keselamatan anak sangei (para penari).

Baca juga :  Pantai Tapak Paderi, Sunsetnya Eksotis

Para penari lalu masuk ke arena khusus yang telah dipersiapkan. Mereka saling berhadapan dengan sebuah meja yang terletak di antaranya. Meja tersebut berisi berbagai sesajen, seperti bakul sirih, bueak minyak, lampu damar, talam, dan ayam jantan.

Ragam Gerak dalam Tari Kejei

Tari Kejei memiliki 6 gerakan yang memiliki makna masing-masing. Pertama, gerak sembah menari sebagai simbol penghormatan kepada roh leluhur, tamu undangan, dan penonton. Kedua, gerak bederap salah pinggang yang melambangkan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Ketiga, gerak petik jari yang merupakan lambang penerimaan terhadap keluarga atau teman baru.

Keempat, gerak mateak dayung yang menyimbolkan penyerahan hidup pada Tuhan. Kelima, gerak sembah penyudo yang melambangkan ucapan terima kasih atas kelancaran Tari Kejei. Terakhir, gerak mendayung yang bermakna perpisahan.

Meskipun telah berusia berabad-abad, Tari Kejei masih terus dipertunjukan. Selain dalam acara pernikahan, tari sakral ini juga dipentaskan dalam acara khitanan, adat marga, dan penyambutan para biku.

Nah Sobat Pariwisata, Budaya sebagai identitas bangsa harus selalu digemakan. Untuk Tari Kejei ini sudah ada sebelum transformasi industri dunia hiburan menginvasi ke Indonesia, warisan leluhur kita dulu sudah memaknai pesan kebhinnekaan.

Salah satu tantangan di era global saat ini, bercampurnya kebudayaan yang datang dari berbagai tempat ke dalam masyarakat Indonesia. Jika kebudayaan yang datang tersebut tidak diatur sedemikian rupa, mungkin-akan dapat, melunturkan budaya sopan santun, toleran, saling menghormati yang ada di tengah masyarakat kita, terutama generasi muda sebagai salah satu kelompok paling aktif dalam era informasi digital.

Ini juga, mungkin! Kebudayaan dari asing lebih modern dan kekinian. Namun, budaya Indonesia tidak kalah bagusnya untuk diperkenalkan. Budaya Indonesia justru banyak ragamnya. Jangan sekedar ‘comot’ dan menghilangkan jati diri kebudayaan sendiri.

Dalam kondisi demikian, diperlukan penguatan pendidikan karakter. Baik secara konvensional maupun melalui literasi digital. Di antarannya adalah dengan menggemakan nilai-nilai yang terkandung dalam empat pilar kebangsaan Kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, serta mengetengahkan nilai-nilai keagamaan yang moderat kepada masyarakat sebagai benteng dari arus globalisasi.

Redaksi Pariwisata Indonesia terus membangun semangat sikap optimisme menguatkan jati diri bangsa di tengah derasnya revolusi digital dan tantangan keberagaman di era globalisasi. Salah satunya, tidak melupakan warisan leluhur kita dulu dengan mengenal Tari Tajei dari provinsi Bengkulu.

Oh iya, Sobat Pariwisata tahun 2017, Tari Kejei ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Provinsi Bengkulu. Pemerintah terus berupaya maksimal agar warisan budaya bangsa tidak lekang ditelan zaman. Saatnya dunia internasional mengakui kekayaan budaya Indonesia. (Nita/Kusmanto).