pariwisataindonesia.gurgurmanurung
Gurgur Manurung / Foto: Media Indonesia

BODT Sokong Program DPSP, Gurgur Manurung Ingatkan Bukan Semata-mata Kepastian Hukum di Wilayah Masyarakat Adat

Sayangnya, kata Gurgur, setelah sekitar 5 tahun program itu berjalan malah membuahkan lima orang yang merupakan masyarakat Sigapiton mendekam di penjara.

Mereka dijatuhi vonis penjara oleh hakim PN dengan dakwaan membakar lahan dan pencurian kayu. Gurgur beranggapan, penangkapan itu terkesan dipaksakan. Dalam paparannya, lumrah masyarakat lokal membakar kayu-kayu kecil yang dikumpulkan untuk lahan pertanian.

Satu sisi, Gurgur menyimpulkan bahwa masyarakat yang tinggal di ‘hotel prodeo’ kala itu, mereka meyakini masih merupakan tanah miliknya. Di sisi yang lain, diklaim milik BODT.

Mencermati sengkarut DPSP di lahan tersebut, dirinya menyematkan Perpres nomor 49 tahun 2016 sebagai dasar penunjukkan kawasan seluas paling sedikit 500 hektare dikelola BODT.

Padahal, katanya, bila mengulik sejarahnya, realitas lahan yang diklaim BODT adalah milik masyarakat adat yang diubah statusnya menjadi hutan lindung. Ditengarai dari konflik itu, berujung pada penderitaan rakyat di kawasan tersebut.

Politisi Partai Nasdem berdarah Batak yang lahir di Desa Nalela, juga mengisahkan kronologi perjalanan lahan tersebut sebelum diklaim BODT. Pada tahun 1975, katanya, masyarakat adat Sigapiton menyerahkan lahan ke pemerintah untuk reboisasi dengan tanaman pinus.

“Kemudian pemerintah mengubah lahan reboisasi itu menjadi hutan lindung. Hutan lindung itulah dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi APL ke BODT. Ketika KLHK memberikan hutan yang dalam sejarahnya milik masyarakat adat itu ke BODT, masyarakat Sigapiton bereaksi,” terangnya.

“Mereka melakukan perlawanan hingga kaum perempuan menyingsingkan baju dengan tujuan agar polisi, tentara dan pamong praja mundur ketika kontak fisik. Masyarakat Sigapiton digempur polisi, pamong praja, traktor dan excavator. Sebuah konflik yang sangat konyol,” tambahnya.

Penyebab konflik dan solusi

Mengapa kehadiran BODT ditolak rakyat lokal dan telah melukai hati rakyat? Apakah pendekatan yang salah atau BODT tanpa konsep atau ada kejahatan di balik kehadiran BODT?

Dua kalimat tanya yang disampaikan Gurgur, digolongkan sebagai ‘retoris’ adalah salah satu jenis majas dalam ‘Bahasa Indonesia’ berbentuk pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab. Karena jawaban atau maksud si penanya sudah terkandung dalam pertanyaan tersebut.

Demi memperkuat artikelnya yang mengambil judul, “Konflik Konyol Kehadiran Negara di Wilayah Masyarakat Adat”, pernyataan Gurgur bukan tanpa tedeng aling-aling. Bahkan, ia seperti tak puas sebatas menyuguhkan kalimat retoris.

Latar belakang penyebab konflik turut diulas Gurgur dengan mengumpulkan berbagai informasi. Hal itu, didasarkan dari kajian yang dibuatnya secara rinci dan mendalam. Redaksi Media Pariwisata Indonesia merangkumnya jadi satu kesatuan agar tak memiliki makna yang bias, sebagai berikut:

  1. Penyebab utama konflik horizontal BODT dengan rakyat Sigapiton dan Motung adalah karena kekuasaan negara digunakan untuk merebut tanah masyarakat adat,
  2. Kekuasaan negara terlihat lebih parah dari kejamnya kekuasaan penjajah di masa lampau. Cara BODT merebut tanah yang sudah ratusan tahun dimiliki rakyat tentu saja menyulut amarah. Sebab, tanaman sebagai sumber hidup, mata air untuk kebutuhan serta kuburan nenek moyang mereka ada di lahan itu.

Gurgur sangat menentang bila kehadiran negara malah hanya untuk meluluhlantakkan hak-hak rakyat lokal, dan sebagai upaya untuk mengantisipasi konflik tersebut, serta mewanti-wanti agar kasus di kawasan Danau Toba tidak terus-terusan berulang menawarkan terobosan baru sesuai prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dan telah diratifikasi oleh bangsa Indonesia.

Solusi yang ditawarkannya.. “

Bersambung ke halaman berikutnya >>> Hal 3.