Solusi yang ditawarkannya ini, sekalian bisa dijadikan sebagai role model untuk diaplikasikan di tempat-tempat lain di Tanah Air yang mengalami hal serupa, sebagai berikut:
Pertama, menampung semua aspirasi rakyat dan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Peran serta masyarakat yang dimaksud dalam konteks kawasan Danau Toba adalah apa yang dibutuhkan dan bagaimana masa depan masyarakat lokal dengan kehadiran BODT.
Kedua, kehadiran BODT sejatinya bertugas untuk membenahi kawasan Danau Toba yang yang telah karut marut. BODT sejatinya menjawab persoalan yang terjadi selama ini seperti ego sektoral tujuh kabupaten yang mengelilingi Danau Toba, yang tidak taat kepada Perpres Nomor 81 tahun 2014 tentang “RENCANA TATA RUANG KAWASAN DANAU TOBA DAN SEKITARNYA”.
Berdasarkan fakta di lapangan, ia menilai, BODT justru larut dalam konflik merebut lahan rakyat masyarakat adat. Ditegaskannya, “Hal inilah kekonyolan BODT karena sejatinya mereka harus membawa jalan keluar persoalan bukan malah menambah persoalan yang sangat rumit,” tegasnya.
Ketiga, mengoordinasikan dan mengoptimalkan peran tujuh bupati di kawasan Danau Toba dengan kewenangan otoritatif, dan memberikan insentif bagi rakyat untuk kreatif memajukan wisata.
Terkait usulannya itu, ia merasa jengkel bila BODT hadir membawa kekuasaan negara untuk merebut tanah masyarakat adat, dan menyesalkan tindakan BODT yang terkesan, seolah-olah melakukan pembiaran pembangun hotel di lahan sengketa.
Menurutnya, “hal itulah yang membuat rakyat Sigapiton dan Motung marah,” ungkapnya. Lalu, diingatkannya, tugas pokok BODT sejatinya mengelola Danau Toba secara holistik terintegratif. Jika ini dilakukan, rakyat di sana akan percaya dan siap mendukung kehadiran BODT.
Keempat, menempatkan peran negara sebagai fasilitator bukan eksekutor tanah-tanah yang menjadi hak rakyat. Masyarakat adat sejatinya didorong oleh negara untuk bebas memilih investor, atau masyarakat adat kreatif memilih model wisata yang mereka inginkan seperti taman wisata alam (TWA), agrowisata dan berbagai konsep yang dimiliki.
Curahan hati Gurgur, tentu bukan tanpa sebab. Mengingat, kawasan Danau Toba memiliki berbagai potensi alam dan budaya yang begitu berlimpah.
Untuk itu, ia mengharapkan lewat artikelnya yang ditayangkan kembali oleh Media Pariwisata Indonesia, Pemerintah diharapkan bisa menjamin agar seluruh pembangunan di kawasan tersebut berjalan dengan maksimal, serta manfaatnya dapat dirasakan secara langsung bagi masyarakat setempat.
Mengakhiri tulisannya, Gurgur kembali mengingatkan soal konflik Sigapiton dan Motung menggambarkan kekejaman negara kepada rakyat. Lalu, jika negara berfungsi sebagai fasilitator di wilayah masyarakat adat, rakyat akan sejahtera dan negara tercinta semakin maju.
Alangkah baiknya, bila negara mau memfasilitasi masyarakat adat lewat beragam insentif untuk merangsang kreativitas dan inovatif warga setempat yang menetap di kawasan tersebut, sambung Gurgur, program DPSP diminta untuk tetap menjaga tanah ulayat.
“Negara bukan malah hadir mengusir masyarakat,” pungkasnya. (Soet)
Leave a Reply