PariwisataIndonesia.id – Sobat Pariwisata, tato (KBBI: gambar (lukisan) pada tubuh) menjadi trend dan gaya hidup bagi masyarakat urban sub culture. Bagi sebagian orang, tato merupakan perlambang keberuntungan, status sosial, kecantikan, kedewasaan, juga harga diri.
Baca juga : Kadispar Sumbar : Optimis Baru dengan Menteri Baru
Sementara beberapa yang lain membuat tato hanya untuk ikut-ikutan. Namun, bagi Suku Mentawai, tato memiliki filosofi tersendiri.
Suku Mentawai adalah salah satu suku yang tinggal di gugusan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Suku pendukung budaya Proto-Melayu ini masih mendukung tradisi dan budaya nenek moyang mereka hingga hari ini. Salah satunya adalah titi atau tato Mentawai.
Baca juga : Wisatawan Nusantara, Novrial: Ranah Minang Nan Elok
Titi merupakan seni menggambar tubuh yang dilakukan oleh Suku Mentawai. Berdasarkan penelitian sejarah, titi diyakini sebagai tato tertua di dunia. Tato ini telah ada sejak 1.500 SM, jauh lebih tua dibandingkan tato Mesir yang baru ada pada tahun 1.300 SM.
Baca juga : Novrial : Kami Anggap Pandemi ini Pit Stop
Bagi masyarakat Mentawai, titi bukan sekedar pakaian abadi yang dibawa sampai mati, tapi juga sebagai roh kehidupan. Titi berfungsi sebagai tanda pengenal wilayah dan kesukuan seseorang.
Baca juga : 98% Pariwisata di Sumatera Barat, Jalani New Normal
Hal tersebut dapat terlihat dari tato utama yang dimiliki. Titi juga berfungsi untuk menunjukan status sosial dan profesi orang tersebut. Titi juga berfungsi sebagai hiasan tubuh.
Suku Mentawai menggambar tubuh mereka dalam tiga tahapan. Tahapan pertama dilakukan saat berusia 11-12 tahun yang dilakukan di pangkal lengan. Tahap kedua dilakukan saat berusia 18-19 tahun yang dilakukan di bagian paha. Sedangkan tahap terakhir dilakukan pada saat seseorang telah dewasa.
Baca juga : Rumah Gadang Sumatera Barat
Motif yang digunakan untuk menggambar tubuh pun terinspirasi dari alam, memiliki makna filosofi tersendiri, dan dianggap bersifat baku. Misalnya, motif binatang digunakan oleh para pemburu atau motif jaring digunakan oleh para pencari ikan.
Hal unik lain dari pembuatan titi adalah proses pembayaran yang dilakukan. Alih-alih menerima uang, sipatiti (pembuat tato) hanya menerima pembayaran berupa seekor babi sebagai balas jasa.
Baca juga : Pacu Jawi dari Sumatera Barat
Sebelum pembuatannya pun harus dilakukan upacara punen patiti (upacara pentatoan).
Titi dibuat dengan menggunakan bahan-bahan alami. Jarum yang digunakan adalah sejenis kayu karai yang ujungnya diruncingkan. Sedangkan untuk tintanya, digunakan jelaga (arang halus dan lembut) dari bambu, kayu, atau tungku pembakaran, yang dicampur dengan air perasan batang tebu.
Baca juga : Karambit Minang Mematikan, Senjata Tradisional Urang Awak [Bacaan 17+]
Proses pembuatan tato ini juga dilakuakn berulang-ulang dan bisa menimbulkan rasa sakit, bahkan demam. Pada masa sekarang, tidak semua masyarakat suku Mentawai bersedia menggambar tubuh mereka dengan titi.
Hal tersebut dikarenakan pengaruh ajaran agama-agama samawi yang dianut oleh sebagian masyarakat Mentawai serta arus modernisasi yang membuat sebagian masyarakat menganggap titi identik dengan budaya primitif.
Meskipun demikian, banyak masyarakat luar yang tertarik pada titi. Beberapa turis domestik maupun manca negara sengaja datang ke Kepulauan Mentawai hanya untuk dibuatkan titi di tubuhnya.
Pada tahun 2014, titi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Provinsi Sumatera Barat. (Nita)
Leave a Reply