PariwisataIndonesia.id – Sobat Pariwisata, pernikahan bukan hanya menjadi momen bahagia bagi mempelai laki-laki dan perempuan. Kedua orang tua pun merasakan kebahagiaan yang sama. Bagi masyarakat Banyuasin, kebahagiaan itu bahkan dituangkan dalam satu tradisi bernama Timbang Kepala Kerbau. Penasaran dengan tradisi unik ini? Yuk, simak ulasan berikut.
Baca juga : Ghumah Baghi, Rumah Adat Suku Besemah
Timbang Kepala Kerbau adalah salah satu tradisi dalam acara pernikahan yang ada di Pangkalan Balai, ibu kota kabupaten Banyuasin dan sekitarnya, Sumatera Selatan (Sumsel).
Seperti namanya, tradisi ini menggunakan kepala kerbau yang akan ditimbang berdampingan dengan mempelai. Sementara daging pada bagian badan kerbau tersebut digunakan untuk keperluan jamuan pesta pernikahan.
Timbang Kepala Kerbau dilakukan setelah pelaksanaan akad nikah. Tradisi ini merupakan perwujudan pembayaran sangi atau nazar (janji kepada Allah) yang diucapkan oleh orang tua, di mana mereka berjanji akan menyembelih kerbau jika anaknya kelak menikah.
Baca juga : Dibalik Megahnya Jempatan Ampera, Ada Nilai Historis
Baca juga : Kue Lapan Jam, Si Legit dari Palembang
Baca juga : Simbol Keagungan Pengantin Palembang
Baca juga : Isnaini Madani, Gebrakan Pariwisata di Tangan Seorang Asitek
Sangi biasanya diucapkan ketika anak perempuan tersebut masih kecil. Biasanya, sangi diucapkan oleh orang tua yang sulit mendapatkan keturunan atau ketika sang anak mendapat penyakit yang sulit disembuhkan. Sangi dilakukan sebagai perjanjian kepada Allah saat memohon agar kesulitan tersebut dihilangkan atau nazar.
Selain sebagai pembayaran sangi, Timbang Kepala Kerbau merupakan wujud syukur orang tua kepada Allah, atas rezeki, kesehatan, dan jodoh yang telah diberikan pada anak mereka.
Tidak ada catatan pasti kapan dan siapa yang pertama kali melakukan Timbang Kepala Kerbau. Disinyalir, tradisi ini telah berlangsung ratusan tahun. Hingga sekarang, tradisi unik ini masih terus dipertahankan.
Dalam pelaksanaannya, hewan yang akan disembelih tidak terbatas pada kerbau. Ada juga yang menggunakan sapi atau kambing. Namun, terlepas dari jenis hewan apapun yang digunakan, tradisi ini tetap disebut Timbang Kepala Kerbau.
Baca juga : Rumah Kembar Tuan Kentang, Wisata Sejarah yang Wajib Dikunjungi
Baca juga : Lakso, Kuliner khas Sumatera Selatan
Selain kerbau, beberapa perlengkapan yang diperlukan dalam tradisi ini antara lain, ayunan (timbangan dacin), 7 atau 9 lembar kain panjang sebagai simbol kasih sayang saat masih berada dalam buaian, batu kali sebagai simbol pondasi rumah tangga, beras kunyit yang akan ditaburkan oleh kerabat yang ikut mendoakan, serta prabe-prabe atau hasil bumi Banyuasin seperti rumpun padi, batang kunyit, nanas, labu, tunas kelapa, pisang dan sebagainya, yang diletakkan di sepanjang ayunan pengantin.
Prosesi Timbang Kepala Kerbau dilakukan dengan urutan dan aturan tertentu. Tradisi ini dipimpin oleh pemangku adat yang dimulai doa keselamatan dan arak-arakan menuju ayunan atau dencing timbangan melalui atau meniti 7atau 9 lembar kain. Arak-arakan ini diiringi Syair Selendang Delima.
Saat prosesi menimbang, kedua mempelai bergantian didampingi dan diayun-ayun oleh orang tua masing-masing sambil didendangkan Syair Serambe dan ditaburkan beras kunyit oleh kerabat altau saudara kandung. Selanjutnya, Tradisi Timbang Kepala Kerbau diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh pamangku adat dan sungkeman kedua mempelai kepada kedua orang tua.
Upaya melestarikan kearifkan lokal Banyuasin diabadikan dalam momen bahagia Bupati Banyuasin H. Askolani & Dokter Sri Fitri Yanti.
Dulu itu, keduanya menggelar resepsi pernikahan. Dalam perhelatan tersebut, kedua mempelai mengenalkan adat menimbang Kepala Kerbau, adalah hal baik yang menginspirasi untuk berbagi dengan sesama. Memaknai rasa syukur karena rezeki yang diberikan Allah SWT berupa kesehatan, dan kenikmatan rezeki untuk mampu berbagi dengan sesama.
Aura kebahagiaan itu pun berhasil menuai decak kagum hingga keduanya disebut-sebut bak raja dan ratu kerajaan. Hal itu diketahui dari ungggahan di akun instagram @dr.fitriaskolani dan @askolanijasiban.
Mereka terlihat memesona dan menaburkan banyak kemesraan, penuh kebanggaan telah melestarikan tradisi Timbang Kepala Kerbau yang telah ada sejak ratusan tahun lalu sebelum masa kolonial Belanda.
Seluruh hadirin di pesta tersebut terhipnotis, pernikahan ini terbilang langka dan romantis.
Dengan begitu, keragaman budaya yang di miliki mampu di pertahankan oleh kedua mempelai yang pestanya sempat viral. Sejumlah pejabat negara dan tokoh masyarakat, pegiat seni dan budaya, termasuk jaringan media Sumsel hadir memberi dukungan serta mengapresiasi kebahagiaan mereka.
Saat menjabat Bupati pun, ia memberi contoh dalam melestarikan adat budaya leluhur Pangkalan Balai dengan menanamkan nilai-nilai moral budaya sebagai pesan identitas kebhinnekaan negri ini.
Sikap yang ditunjukan oleh mempelai perwujudan dari sikap nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang patut digemakan. Baik melalui pesta pernikahan H. Askolani & Dokter Sri Fitri Yanti, maupun festival seni budaya sehingga menjadikan masyarakat Indonesia cinta terhadap budaya leluhur ini.
Keberagaman tradisi dan budaya nusantara adalah simbol Indonesia yang dipenuhi dengan warna kebhinnekaan, salah satunya dari Timbang Kepala Kerbau.
Sobat Pariwisata, pada tahun 2018, Timbang Kepala Kerbau ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari provinsi Sumatera Selatan.
(Nita/Manto)
Leave a Reply