Bung Karno bertolak ke Tanah Rencong kala itu, dimaknai sebagai pesan permohonan Pemerintah Pusat. Lantaran kebutuhannya teramat mendesak dan erat hubungannya terkait untuk Indonesia merdeka. Soekarno ingin berbicara langsung dengan rakyat Aceh, tentang keinginannya membeli pesawat terbang.
Ditulis dalam buku itu, “Saya tidak makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul,” kata Bung Karno, dikutip dari buku “Aceh Daerah Modal”, karya Tgk. AK Jakobi di halaman 245 yang meminta sokongan rakyat Aceh.
Alhasil, terkumpul sebesar 120.000 dolar Singapura dan emas 20 kg. Dana tersebut langsung dibelikan ke pesawat terbang jenis Dakota. Bung Karno menganugerahi nama pesawat “Seulawah RI-001” tentunya, ini bentuk penghormatan Pemerintah Pusat kepada Rakyat Aceh yang secara ikhlas mau menyumbangkan harta di tengah situasi yang sulit.
Pada akhirnya, tidak cuma pesawat Seulawah RI-001, bahkan termasuk Seulawah RI- 02 adalah sumbangan dari Rakyat Aceh untuk Indonesia merdeka. Kedua pesawat sumbangan tersebut kemudian menjadi cikal bakal maskapai penerbangan Garuda Indonesia.
Tercatat juga dalam sejarah, sejak ditandatangi Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, perilaku pemimpin kolonial Belanda kala itu semakin membabi buta. Malah, mereka ingin membubarkan Republik Indonesia.
Belanda mengepung wilayah RI dengan menciptakan negara-negara boneka, seluruh ibu kota provinsi di Indonesia telah diduduki. Indonesia sudah mengalami kepungan politik blokade ekonomi militer dari pihak Belanda. Satu-satunya wilayah yang masih utuh dan bertahan adalah Aceh.
Dukungan Rakyat Aceh lainnya, yaitu menyetujui wilayahnya dijadikan sebagai Pusat Pemerintahan Darurat Indonesia sementara.
Aceh pun mendukung dan mendorong terbentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Demi untuk menggelorakan semangat juang yang secara aktif mengumandangkan kemerdekaan lewat Radio Rimba Raya (Desember 1948-1949). Disiarkan dari dataran tinggi Gayo, tepatnya di Kampung Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime, Aceh Tengah.
Radio Rimba Raya adalah “Radio Republik Indonesia Darurat” bersiaran dalam bahasa Indonesia, Aceh, Inggris, Belanda, Arab, Urdu, Mandarin, dan Jerman. Radio itu berdaya pancar 1 kilowatt, bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter. Mulai siaran sejak terjadinya Agresi Militer Belanda I, sampai Konferensi Meja Bundar berakhir.
Akhirnya, pendudukan Belanda berhasil dipukul keluar dari Indonesia. Kehadiran Radio Rimba Raya sekaligus menguatkan Radio Republik Indonesia (RRI) yang berlokasi di Yogyakarta. Sebab, RRI di zaman itu tak lagi bisa mengudara lantaran kena hantaman bom.
Bersambung ke halaman berikutnya
Awal Mula Lahirnya GAM
Leave a Reply