Awal Mula Lahirnya GAM
Mengacu pada dua teori tentang “nasionalisme” yang digagas oleh Bennedict Anderson (1991) dan “Teori Etnis” yang diprakarsai oleh Anthony Smith (1981), menyebutkan separatis GAM, pada 4 Desember 1976.
Teori itu mengatakan, gerakan yang dipimpin Tgk Hasan Muhammad Ditiro atau Hasan Tiro di Gunung Halimon, Kabupaten Pidie adalah bentuk gerakan masif yang terlahir sebagai sikap kedaulatan atas kekayaan alam Aceh.
Dari teori tersebut, sekaligus menjawab alasan terbentuknya GAM di tahun 1976 silam. Masih menurut teori itu lagi, sangat pantas bila GAM dekat dan diterima di hati masyarakat Aceh. Bahkan, tak sedikit yang memberikan dukungan penuh gerakan yang dilakukan oleh mereka.
Sampai-sampai, mendapat simpati dunia internasional agar Aceh diminta untuk berpisah dari Indonesia. Suksesnya GAM, dijelaskan di teori itu karena berhasil membangun sentimen identitas etnis untuk serentak melawan nasionalisme Indonesia.
Selain teori itu, menilik sejarah lainnya yang mencatat, di balik terjadinya kisah pemberontakan di Aceh. Hal tersebut masih berkaitan pula dengan peristiwa tahun 1950.
Mengingat, status Aceh diturunkan menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Atas dasar hal itulah, menyulut rasa kecewa.
Akibatnya, Teungku Daud Beureueh, yakni tokoh terkemuka Aceh yang sekaligu posisinya adalah mantan Gubernur Militer di masa Revolusi, menyatakan sikap siap bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan S.M. Kartosuwirjo.
Secara terpisah, padahal Aceh sudah bersepakat akan membantu Indonesia dan menjadi bagian dari Negara Indonesia. Diperkuat lagi, kebulatan tekad yang diusung oleh Persatuan Ulama Aceh (PUSA). Saat itu, sang ketuanya adalah Breueh yang menandatangani Maklumat Seluruh Ulama Aceh, yakni mendukung penuh dan bersedia membantu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dengan kata lain, maklumat para ulama dan pemangku adat di Aceh sebagai bentuk meyakinkan sikap kepada masyarakat Aceh bahwa perjuangan membantu “Indonesia merdeka” adalah suci sebagaimana kisah dalam perjuangan Bangsa Aceh yang dipimpin oleh Tgk. Chik Ditiro terdahulu.
Rakyat Aceh semakin mantap kepercayaannya ketika Sang Proklamator Indonesia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk memberikan hak kepada Aceh menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam.
Di zaman itu, Bung Karno menjanjikan akan menggunakan segala pengaruhnya sebagai Kepala Negara, dan rakyat Aceh diyakinkan dibolehkan untuk menegakkan syariat Islam.
Cita-cita bersama tersebut, berbuah manis dan berujung kepada Indonesia yang merdeka. Namun sayangnya, dukungan Aceh berubah menjadi sebuah perlawanan. Pemberontakan besar tak bisa diindahkan dan mengancam kedaulatan Indonesia.
Diikuti lagi pemberontakan GAM atau kelompok separatis pimpinan Hasan Tiro yang memproklamirkan gerakan pembebasan untuk bertujuan memerdekakan Aceh dari Indonesia.
Meminjam istilah Bennedict Anderson (1991), konsep “The imagined community of Indonesia” yang ditawarkan oleh Presiden Soekarno, jelas-jelas melukai perasaan masyarakat Aceh yang kecewa pada Indonesia.


Akhirnya, tak ayal terjadi propaganda ekonomi diskriminasi, seperti: Pemerintahan pusat didominasi oleh orang-orang Jawa; Distribusi kekayaan menyebutkan tidak merata, dan pemerintahan kala itu, memberi kesan sentralistik. Fase ini, GAM sukses berhasil memanfaatkan momentum tersebut.
Tak cuma itu saja, malah pemimpin GAM mengungkit-ungkit permasalahan zaman dahulu ketika raja-raja Majapahit menghancurkan kerajaan Samudera Pasai. GAM terus menebarkan bibit kebencian, terutama untuk mendiskreditkan transmigran dari etnis Jawa.
Program transmigrasi yang digadang-gadang oleh Pemerintah Pusat menginjak-injak harkat dan martabat rakyat Aceh, karena distigma besutan Jawanisasi yang diduga bermuara untuk menguasai Aceh.
Singkatnya, memunculkan sentimen etnis di hati para pendukung GAM dan menjadikan Jawa sebagai common enemy yang menstimulasi agar rakyat Aceh segera merespons dan bergerak melawan Indonesia.
Pemberontakan kian berlanjut sampai ke tindakan represif. Kemudian, redaksi Media Pariwisata Indonesia juga mencatat, bahwa citra Aceh dan Pemerintah Pusat semakin berjarak. Kemudian, intensitas kekerasan dan pelanggaran HAM tertinggi dampak diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM), dan semakin membuat luka tersebut terus menganga lebar.
Menurut Michael L. Ross dalam analisisnya bertajuk “Resources and Rebellion in Aceh, Indonesia” menyebut, salah satu motivasi utama Hasan Tiro selama bergerilya bersama GAM adalah isu kedaulatan sumber daya alam Aceh. Selain itu, upayanya untuk menekankan strategi agar penarikan dukungan massa rakyat Aceh kepada Indonesia.
Slogan yang dibangun oleh Hasan Tiro, Aceh akan terus semakin miskin bila berada di bawah kolonialisme Pusat. Mengapa? Alasan dari analisis itu menandaskan, bahwa harapan hidup di masa depan semakin kurang mencerahkan.
Mengingat, Jakarta tidak tahu cara berterima kasih. Analisis lainnya, yakni sejak negara Indonesia merdeka telah menerima banyak manfaat dan pendapatan yang luar biasa besar dari eksploitasi gas alam di Aceh.
Nilainya diklaim mencapai $15 miliar per tahun, dikecam Hasan Tiro dana tersebut untuk membangun Jawa. Semenetara, akselerasi pembangunan Aceh kurang mendapat perhatian seperti ditulis oleh Michael L. Ross di buku Understanding Civil War: Evidence and Analysis (2005).
Menjawab tuduhan-tuduhan GAM, termasuk serangan propaganda di luar negeri yang cukup meresahkan. Sikap pemerintah Indonesia kala itu mulai melunak.
Perlawanan GAM harus diselesaikan di tingkat perundingan (musyawarah). Kemudian, dibuatlah penandatanganan nota kesepakatan damai, antara pemerintah Indonesia dengan perwakilan GAM yang disebut “Perjanjian Helsinki” pada tanggal 15 Agustus 2005, dan mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari berperan sebagai fasilitator Perjanjian Helsinki.
Pertemuan dimulai pada 27 Februari 2005. Perwakilan GAM dan pemerintah RI melakukan tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Setelah berunding hingga 25 hari lamanya, pemerintah Indonesia berhasil mencapai kata sepakat untuk berdamai dengan GAM di Helsinki, Finlandia.


Proses perdamaian yang terbentuk lewat Perjanjian Helsinki, tidak berhenti di situ. Masih akan terus diawasi oleh sebuah tim bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Di antara isi Perjanjian Helsinki, pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Seusai dari itu, kabar yang diterima melalui juru bicara GAM Sofyan Dawood menyebut, sayap militernya telah dibubarkan secara formal, pada tanggal 27 Desember masih di tahun yang sama. Diikuti Hasan Tiro kembali pulang ke Aceh, pada bulan Oktober 2008. Dia menetap dan meninggal dunia di tanah kelahirannya, pada Kamis (3/6/2010).
Prestasi yang dirasakan masyarakat Aceh dari Perjanjian Helsinki adalah pembentukan partai-partai politik lokal Aceh yang semerbak bak jamur di kala hujan.
Sejumlah elit GAM dan eks kombatan, dibolehkan mendirikan partai dan terjun ke pentas politik. Tindak lanjut MoU Helsinki 2005 silam, juga diartikan sebagai rekonsiliasi nasional. Harkat dan martabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh terus berkelanjutan hingga saat ini.
Kini, Provinsi Aceh menjadi bagian utuh yang tak terpisahkan lagi dari Indonesia. Hal lainnya, terbentuk kawasan otonomi khusus untuk masyarakat Aceh yang diperoleh lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Keinginan masyarakat Aceh untuk menghadirkan penerapan syariah Islam benar-benar telah terwujud.
Bersambung ke halaman berikutnya
Teuku Badruddin Syah Tokoh Aceh yang Berjuang di Jalur Pengusaha
Leave a Reply