“Salah satu komponen utama dalam pengembangan perekonomian di berbagai negara, keunggulan industri ini terlihat pada kemampuannya untuk tidak terpengaruh secara berarti dari badai krisis perekonomian baik tingkat nasional maupun tingkat dunia,” ungkapnya.
Ia juga meyakinkan, hadirnya peran serta sektor industri di bidang pariwisata sudah tentu akan menyelamatkan dari krisis yang terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang.
“Indonesia salah satu negara sedang berkembang yang memiliki segala potensi pariwisata yang sangat besar dan keaneka ragaman panorama, seni dan budaya serta peninggalan peradaban besar yang merupakan warisan dari nenek moyang kita,” katanya.
Pulau Bali telah menjadi andalan utama Pariwisata Indonesia dan menjadi bagian dari jaringan Pariwisata dunia, Pulau Bali terkenal sebagai pulau dewata yang memiliki panorama surgawi dan pelayanan masyarakat bagaikan disurga manusia saat ini.
Kemajuan industri pariwisata di Bali tidak hanya dari segi fisik sebagai pulau yang indah, tetapi juga dalam segi pelayanan budaya dan prilaku manusia yang religius di mana berhasil menjadi pulau yang paling baik dalam segi penataan wisata dan peran sumber daya manusia yang menghidupkan seni budaya tinggi dengan nilai religius warisan nenek moyang bangsa Indonesia.
“Mencerminkan perkembangan wisata utama Indonesia seperti halnya Pulau Bali yang mempunyai kultur Hindu dan Buddha dengan segala peningalan fisik dan seni budaya yang ada, tentunya bagian lain wilayah Indonesia akan mampu menjadi bagian dari jaringan wisata internasional selama kita memperlakukan meninggalan seni budaya dan nilai religiusnya menjadi instrumen wisata termasuk potensi wisata budaya dan wisata ziarah,” terangnya.
“Jawa Tengah yang merupakan salah satu wilayah Pusat Peradaban nenek moyang bangsa kita dengan segala peniggalan seni budaya, bangunan religius dan perilaku yang tinggi dengan menjunjung moral dan pandangan hidup yang luhur merupakan aset yang terpendam sejak lama,” sambungnya.
Ia juga menyoroti diplomasi Pemerintah yang selalu meletakan peninggalan budaya candi-candi menjadi “death monument” dan hanya dipandang dari segi duniawi sebagai benda purbakala adalah suatu penilaian yang keliru karena telah terbukti gagal dalam membawa kemakmuran bagi rakyat di sekitarnya.
Penggagas dan Dewan Kehormatan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia sejak tahun 1999 sampai sekarang ini juga menilai, dengan hanya menjadikan candi-candi, khususnya Candi Borobudur sebagai monumen mati tentunya akan merugikan masyarakat kecil di sekitarnya dan masyarakat luas lainnya, karena segala potensi yang dimiliki oleh Candi Borobudur sebagai candi terbesar di dunia yang memiliki nilai sakral yang tinggi akan menjadi sia-sia.
Selanjutnya, ia juga mencermati potensi Candi Borobudur yang mempunyai banyak nilai seni budaya dan religius, kata Siti Hartati, sangat wajar bila menjadi daya tarik wisatawan mancanegara, terutama di kawasan Asia yang negara tersebut, mayoritas beragama Buddha.
Begitupula sumber daya manusia di sekitarnya, juga akan tumbuh kembang dengan sendirinya seiring dibukanya peran Candi Borobudur secara religius yang tentunya kaya akan segala seni, budaya dan ritual suci. Lanjutnya, siap mengisi peran sentral candi seperti halnya makna awal dari Candi Borobudur itu di bangun.
“Membangkitkan nilai spiritual akan membawa arti ekonomis yang tinggi, karena masyarakat kecil disekitarnya akan dapat membangun industri kecil dalam pembuatan cendera mata dan lain lain, juga prilaku budaya luhur akan kembali menyelimuti wilayah sekitarnya sehingga menjadi nilai keunggulan sektor Pariwisata Indonesia,” tandasnya.
Pendiri Yayasan Kepedulian Sosial Paramita juga beranggapan, kehidupan yang harmonis dengan dikelilingi nilai spiritual akan membuat seluruh wisatawan Indonesia dan mancanegara dapat menikmati kehidupan yang penuh dengan tatanan budaya asli bangsa Indonesia yang bermutu tinggi, ditambah dengan segala keramahan dan seni budayanya.
“Jika Pulau Bali menjadi Pulau Dewata, maka di kemudian hari Candi Borobudur akan terkenal sebagai wilayah Surga bagi dunia, karena nilai spiritual yang tinggi dan kepercayaan umat Buddha bahwa di dalam Candi Borobudur terdapat Relik Buddha Gotama akan menjadikan kawasan tersebut menjadi pusat kekuatan spiritual umat Buddha, rangkaian seni budaya yang tinggi tempat yang tepat untuk berprilaku suci dan mempunyai sentuhan surgawi akan membawa umat Buddha untuk beramai-ramai mendatanginya sebagai bagian dari kunjungan spiritual agung,” bebernya.
Jika saja Candi Borobudur terus disikapi sebagai monumen mati yang hanya melihat dari segi benda purbakala, dengan tegas Siti Hartati Murdaya mengkritik itu
“Kurang memahami pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dalam arti benda purbakala memiliki nilai budaya yang dilingkupi nilai religius sesuai dengan makna aslinya. Saat ini terlihat perlakuan sembarangan tanpa tata nilai dalam mengembangkan wisata budaya bagi Candi Borobudur, sehingga seluruh pengunjung memperlakukan semuanya dengan mengabaikan tata etika dan moral yang harus dijiwai,” kritiknya.
Apabila tata prilaku pengunjung diatur sesuai dengan nilai jiwa spiritual candi tentu akan membawa kebahagiaan batin yang tinggi bagi pengunjung dan tidak lagi melihat dari sisi benda purbakala yang mati tetapi juga dari sisi religius yang memotivasi jiwa untuk meningkatkan kesadaran dalam diri pengunjung akan kemuliaan bangsa Indonesia dan peradaban spiritualnya.
Multiplier effect (efek berganda) dari hal tersebut, sambungnya, sudah pasti memberi pengaruh luas, seperti industri kecil berupa kerajinan tangan, tempat penginapan dan segala seni religius, termasuk masyarakat di sekitarnya untuk kreatif berkarya dan selalu berinovasi, justru meningkatkan pendapatan dan mata pencariannya.
“Pengembangan sekitar candi tidak memerlukan suatu investasi yang sangat besar tanpa menunggu perbaikan sektor industri riil ataupun sektor perbankan, yang paling utama hanyalah keamanan dan ketertiban serta menjadikan kembali candi Borobudur sebagai candi yang sakral karena terdapat RELIK Sang Buddha di dalamnya,” tandasnya.
5. Candi Borobudur di era reformasi
“Salah satu keprihatinan yang mendasar menjadi perhatian kita semua adalah terjadinya gejala-gejala disintergrasi yang melanda bangsa kita dewasa ini, reformasi sebagai momentum mendadak dan serentak, membuka peluang seluas luasnya bagi bangsa Indonesia untuk mengadakan perbaikan terhadap kondisi lama yang menghalangi peningkatan Demokrasi, Hak hak Asasi, dan Keadilan,” imbuhnya.
Momentum reformasi dipicu oleh gejolak krisis moneter regional dan global, berkelanjutan menjadi krisis ekonomi, krisis politik, krisis keamanan, krisis kepercayaan, krisis moral, krisis kemasyarakatan dan krisis dimana mana yang melanda negara ini dan mengguncangkan hampir segala sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
“Bangsa kita belum siap menghadapinya baik secara konsepsional maupun secara operasional. Badai gejolak krisis yang menerpa negara ini telah melemahkan kemampuan nasional kita untuk menjaga dan mempertahankan keutuhannya, sistim finansial sebagai salah satu tumpuan negara modern menjadi porak poranda,” pungkasnya.
Sifat reformasi sebagai situasi transformasi dapat dijadikan peluang yang tepat untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada, terutama yang berkaitan dengan pengelolahan Candi Borobudur yang selama ini dinilai mubazir, karena dianggap tidak mampu menunjang pemasukan devisa bagi negara yang cukup berarti.
Belajar dari negara-negara tetangga yang telah terbukti berhasil dalam mengelola aset candi/viharanya, dan di sisi lain, pandangannya ini menjadi sebuah usulan di tengah situasi bangsa dan negara yang diyakininya, (ia menduga, red), Pemerintah sedang membutuhkan banyak dana untuk memulihkan perekonomian nasional dan berupaya memakmurkan masyarakat di sekitar Candi Borobudur.
“Dengan secepat mungkin memanfaatkan semua aset negara yang segera dapat mendatangkan dana, akan menjadi faktor penunjang bagi kegiatan bersama untuk ikut gerakan pemulihan perekonomian nasional, dan ikut serta menciptakan iklim yang kondusif dalam rangka upaya mencegah terjadinya disintergrasi masyarakat, bangsa dan negara akibat krisis yang berkepanjangan,” tulis Dra. Siti Hartati Murdaya, dikutip PariwisataIndonesia.id melansir walubi.or.id. sebagai wujud kepedulian dan sikap nasionalismenya yang bangga menjadi warga negara Indonesia. (Dini/eh)
Leave a Reply